LUGAS | BOBONG — Suasana Lapangan Sepak Bola Kota Bobong, Selasa pagi, 22 April 2025, berbeda dari hari-hari biasanya. Bendera Merah Putih berkibar pelan, diiringi angin laut yang lembut menyusup dari selat di utara Pulau Taliabu. Pukul sembilan lewat sedikit, upacara dimulai. Seluruh aparat pemerintah daerah, pelajar, tokoh masyarakat, hingga ibu-ibu Bhayangkari dan Persit berdiri tegak dalam barisan. Mereka memperingati 12 tahun usia Kabupaten Pulau Taliabu—sebuah wilayah yang lahir dari perjuangan panjang dan tak jarang pahit.
Sebelum upacara, Ketua DPRD Pulau Taliabu, Moh Nuhu Hasi, membacakan narasi sejarah singkat pemekaran kabupaten. Di dalamnya, nama Ahmad Hidayat Mus, atau yang biasa disebut AHM, muncul sebagai tokoh sentral. “Tanpa AHM, barangkali Taliabu belum ada hari ini,” kata Nuhu. AHM adalah Bupati Kepulauan Sula pada 2005 yang membidani lahirnya Pulau Taliabu sebagai daerah otonom. Ia dibantu sekelompok tokoh lokal—yang tidak semuanya disebut hari itu—dalam perjuangan menembus birokrasi Jakarta.
Pada 2013, Pulau Taliabu resmi mekar dari Kepulauan Sula melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2013. Namun baru pada April 2014 penjabat bupati pertamanya dilantik. Maka, sejak itu, tanggal 22 April diperingati sebagai hari jadi kabupaten yang letaknya jauh di pinggiran Indonesia Timur itu.
Simbol Kekuasaan dan Panggung Harapan
Aliong Mus, adik dari AHM sekaligus Bupati Taliabu saat ini, tampil sebagai inspektur upacara. Dalam pidatonya, Aliong tak sekadar menyampaikan rasa syukur. Ia menyisipkan seruan moral: “Kita berdiri di atas kerja keras dan pengorbanan. Maka, jangan biarkan pembangunan tersendat karena ketidaksungguhan kita hari ini.”
Pernyataan itu mungkin terasa normatif. Tapi di Taliabu, janji pemimpin adalah etalase kepercayaan. Warga masih menagih akses jalan yang menghubungkan Bobong ke desa-desa terpencil, pemerataan pendidikan, air bersih, dan fasilitas kesehatan yang layak.
Melacak Ingatan, Menggugat Lupa
Bagi sebagian warga, peringatan ini bukan hanya tentang pesta, melainkan ruang untuk mengingat. Seorang tokoh adat di Taliabu Tengah menyesalkan bahwa banyak nama pejuang lokal pemekaran yang hilang dari ingatan publik. “Kita terlalu fokus pada tokoh politik. Padahal ada kepala desa, ibu rumah tangga, bahkan nelayan yang dulu ikut dalam petisi rakyat,” katanya.
Lepas dari itu, suasana hari jadi tetap meriah. Ada lomba sepak bola dan bola voli, serta lomba perahu ketinting. Sejumlah pedagang juga menjajakan aneka makanan seperti sagu olahan.
Catatan untuk Masa Depan
Di usia 12 tahun, Pulau Taliabu masih seperti remaja yang mencari bentuk. Dinamika politik lokal, kekayaan sumber daya alam, dan tantangan geografis menjadi medan uji bagi siapa pun yang memimpinnya. “Kita ini kabupaten yang baru, tapi mental kita harus seperti provinsi,” kata Aliong Mus, setengah bercanda, setengah serius.
Ucapan itu bisa dibaca sebagai visi, bisa juga sebagai retorika. Tapi bagi warga, yang terpenting adalah kenyataan: jalan mulus, listrik menyala, anak-anak bisa sekolah tanpa harus menyeberangi sungai, dan harga bahan pokok yang tak melambung saat cuaca buruk datang.
Dua belas tahun sudah berlalu sejak Taliabu berdiri sendiri. Kini, sejarahnya mulai mengendap, dan harapan mulai menggunung. Waktu akan menjadi hakim, apakah ingatan kolektif itu dijaga, atau dilupakan pelan-pelan.
Laporan Tim LUGAS | Editor: Mahar Prastowo
Tidak ada komentar