Ilustrasi Air Tanah vs Air PAM (kompasiana.com/maharprastowo)


LUGAS | Editorial - Di tengah gegap gempita pembangunan kota metropolitan, Jakarta menghadapi krisis yang senyap namun mematikan: kerusakan lingkungan akibat eksploitasi air tanah yang masif. Ibu kota negara, yang selama ini tumbuh ke atas, diam-diam terus tenggelam ke bawah. Laju penurunan tanah yang terjadi di beberapa titik bahkan mencapai lebih dari 10 sentimeter per tahun, menjadikan Jakarta sebagai salah satu kota dengan tingkat subsidensi tanah tertinggi di dunia.

Krisis ini bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba. Ia adalah akumulasi dari kebijakan jangka panjang yang abai terhadap daya dukung lingkungan, diperparah oleh ketergantungan warga terhadap air tanah sebagai sumber utama kebutuhan sehari-hari. Ironisnya, kondisi ini justru terjadi di kota yang secara administratif memiliki Perusahaan Air Minum Daerah (PAM) dan sejumlah infrastruktur air bersih yang terus dikembangkan.

Air tanah seolah menjadi pilihan praktis. Biaya murah dan kemudahan akses membuat masyarakat, dari rumah tangga kecil hingga gedung pencakar langit, lebih memilih mengebor tanah ketimbang menyambungkan pipa. Namun, kenyamanan ini membawa konsekuensi ekologis yang mahal. Setiap liter air tanah yang diambil adalah cadangan purba yang membutuhkan ratusan tahun untuk terisi kembali. Ketika diambil tanpa kontrol dan tanpa diimbangi infiltrasi alami, hasilnya adalah keruntuhan tanah secara perlahan.

Pemerintah DKI Jakarta sebenarnya telah mengambil sejumlah langkah untuk mengatasi hal ini. Salah satunya adalah program sumur resapan yang masif digalakkan pada masa pemerintahan Gubernur Anies Baswedan. Gagasan tersebut—memanen air hujan untuk dikembalikan ke tanah—pada dasarnya sangat tepat secara prinsip ekologi. Namun, implementasi di lapangan acap kali tidak tepat sasaran, kurang akurat secara teknis, bahkan menimbulkan masalah baru pada fasilitas umum.

Saat ini, kebijakan air bersih di Jakarta memasuki titik kritis. Program 100 persen layanan air perpipaan yang ditargetkan selesai pada 2030 harus menjadi prioritas pembangunan. Pembangunan sistem pengolahan air skala besar seperti SPAM Karian-Serpong dan SPAM Jatiluhur harus didorong dengan pendekatan lintas daerah, sebab sumber air utama Jakarta berasal dari luar wilayahnya sendiri.

Lebih dari sekadar pembangunan fisik, diperlukan langkah tegas dan serentak dalam hal regulasi. Penggunaan air tanah, khususnya oleh sektor industri dan komersial, harus dihentikan secara bertahap dan diawasi ketat. Izin pengeboran harus dibatasi, dan sanksi terhadap pelanggaran diterapkan tanpa kompromi.

Namun, pendekatan struktural tidak akan berarti tanpa partisipasi warga. Masyarakat Jakarta perlu disadarkan bahwa menggunakan air PAM bukan sekadar urusan kenyamanan atau biaya, melainkan bagian dari tanggung jawab ekologis. Air tanah bukan sumber daya yang bisa diambil seenaknya. Ia adalah warisan geologis yang hanya dapat dipelihara lewat kesadaran kolektif.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga perlu memperkuat strategi komunikasi publik. Kampanye tentang bahaya penurunan tanah, ancaman intrusi air laut, serta keuntungan beralih ke air perpipaan harus dilakukan secara masif, menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Edukasi harus melibatkan RT/RW, sekolah, tokoh agama, dan media massa.

Kita belajar dari banyak kota besar dunia seperti Tokyo dan Bangkok, yang juga sempat mengalami krisis penurunan tanah akibat eksploitasi air tanah. Mereka berhasil keluar dari jeratan itu lewat kebijakan tegas: berhenti menyedot air tanah, dan membangun sistem air bersih modern. Jakarta tidak perlu menunggu hingga seluruh pesisir utara terendam air laut. Waktu untuk bertindak adalah sekarang.

Penurunan tanah adalah bencana lambat. Ia tidak menimbulkan suara, tidak memecahkan kaca, tidak menjatuhkan bangunan secara tiba-tiba. Tapi ia menggerus kota secara perlahan, mengancam generasi mendatang. Mengganti air tanah dengan air PAM bukan semata solusi teknis, melainkan pilihan moral untuk menyelamatkan Jakarta.

Menyelamatkan air tanah Jakarta berarti menyelamatkan masa depan kota ini. Pemerintah, sektor swasta, dan warga harus berjalan seirama dalam agenda ini. Tak ada waktu lagi untuk bersikap kompromistis terhadap eksploitasi yang terus-menerus menggali kubur bagi ibu kota kita sendiri.

Belajar dari Dunia: Air Laut untuk Masa Depan

ilustrasi desalinasi air laut menjadi air tawar


Ketika sumber air permukaan tidak mencukupi dan air tanah tidak lagi layak, negara-negara lain beralih ke air laut. Mereka menyuling air laut menjadi air tawar melalui proses desalinasi. Teknologi ini dulunya mahal, tapi kini semakin efisien.

Singapura adalah contoh terbaik. Negara kecil ini tidak memiliki sumber air tanah, apalagi sungai besar. Namun melalui proyek nasional "NEWater", mereka mendaur ulang air limbah, menyuling air laut, dan mengandalkan teknologi reverse osmosis. Singapura kini menghasilkan 40 persen air bersihnya dari desalinasi, dengan target mencapai 85 persen pada 2060.

Israel, negara gurun yang minim air, telah menjadikan air laut sebagai penyelamat nasional. Dengan lima instalasi desalinasi skala besar, Israel mampu memasok lebih dari 70 persen kebutuhan air domestiknya dari air laut, bahkan mengekspor air ke negara tetangga.

Arab Saudi dan Uni Emirat Arab bahkan lebih jauh lagi. Negara-negara Teluk itu mengandalkan desalinasi sebagai sumber utama air minum, dan terus berinvestasi pada teknologi rendah karbon untuk mengurangi dampak lingkungan dari proses tersebut.

Indonesia sebenarnya telah memulai upaya ini, meski dalam skala kecil. Di Nusa Tenggara Timur dan beberapa pulau kecil, instalasi desalinasi sudah dibangun, terutama oleh TNI AL dan Kementerian PUPR. Namun belum ada langkah besar untuk menjadikannya sebagai sumber alternatif utama di wilayah padat seperti Jakarta.

Saatnya Menoleh ke Laut

Jika kita ingin menyelamatkan Jakarta, maka air laut harus masuk dalam peta strategi air bersih. Tidak untuk seluruh kebutuhan, tapi sebagai penyangga ketika air permukaan dari Waduk Jatiluhur atau Sungai Ciliwung tidak lagi mencukupi. Teknologi sudah tersedia, tinggal kemauan politik dan perencanaan jangka panjang.

Pemanfaatan air laut akan menekan ketergantungan terhadap air tanah, membuka peluang air bersih mandiri, dan menjadikan Jakarta sebagai pelopor kota pesisir yang resilien terhadap perubahan iklim.

Tanggung Jawab Kolektif

Tentu tidak semua solusi bisa langsung diterapkan. Tapi arah kebijakan harus jelas: hentikan eksploitasi air tanah, perluas layanan air PAM, dan buka opsi penggunaan air laut. Pemerintah perlu membangun regulasi yang kuat, industri harus patuh pada transisi, dan warga didorong untuk ikut serta dalam perubahan gaya hidup air bersih yang berkelanjutan.

Menyelamatkan Jakarta bukan perkara teknis semata, tetapi komitmen moral untuk generasi berikutnya. Kita tidak mewarisi air tanah dari leluhur, tetapi meminjamnya dari anak cucu. Dan kita harus mengembalikannya dalam keadaan yang lebih baik.


[mp]