Latar Belakang: Kebangkitan Proteksionisme di Era Trump
Pada 2016, Donald J. Trump naik ke tampuk kepresidenan Amerika Serikat dengan slogan “Make America Great Again.” Slogan yang terdengar nasionalis ini bukan hanya retorika kampanye. Begitu dilantik, Trump segera menerjemahkannya ke dalam kebijakan ekonomi yang amat agresif, terutama di bidang perdagangan internasional. Baca selengkapnya dengan Klik di SINI
Trump menganggap defisit perdagangan AS sebagai “ketidakadilan global” yang harus diperangi. Dalam pandangannya, negara-negara seperti Tiongkok, Meksiko, dan bahkan sekutu seperti Uni Eropa dan Kanada, telah mengambil keuntungan berlebihan dari sistem perdagangan bebas. Maka, dimulailah era baru proteksionisme: dengan senjata utama bernama tarif impor.
Tarif tinggi dikenakan pada baja (25%) dan aluminium (10%) pada 2018. Tidak berhenti di sana, Trump juga melancarkan tarif tambahan terhadap barang-barang Tiongkok senilai ratusan miliar dolar. Sebuah “perang dagang” pecah, mengubah lanskap perdagangan global dalam skala yang belum pernah terlihat sejak era Smoot-Hawley di tahun 1930-an.
Tujuan Kebijakan Tarif Trump
Tujuan utama Trump adalah menciptakan reindustrialisasi AS. Ia ingin perusahaan-perusahaan AS kembali membuka pabrik di dalam negeri, bukan di Tiongkok, Vietnam, atau Meksiko. Dengan tarif tinggi, produk impor menjadi mahal sehingga konsumen beralih ke produk domestik.
Kebijakan ini juga dimaksudkan sebagai bentuk tekanan terhadap negara-negara mitra dagang agar bersedia merundingkan ulang perjanjian perdagangan dengan syarat yang lebih menguntungkan bagi AS.
Namun, seperti kata pepatah lama dalam ekonomi: “There is no such thing as a free lunch.” Kebijakan yang kelihatan protektif ini juga mengundang pembalasan dari negara-negara mitra. Tiongkok, misalnya, membalas dengan tarif atas produk pertanian AS, terutama kedelai—sektor vital basis pendukung politik Trump.
Dampak Global: Meresahkan Pasar, Mengguncang Rantai Pasok
Perang tarif Trump menyulut ketidakpastian yang menyebar cepat ke pasar keuangan global. Ketika dua kekuatan ekonomi terbesar dunia saling serang tarif, investor gelisah. Dunia mencium aroma perlambatan ekonomi global. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terguncang; sistem perdagangan multilateral retak oleh unilateralitas AS.
Rantai pasok global yang sebelumnya efisien, terdampak parah. Banyak perusahaan multinasional yang mulai memikirkan strategi “diversifikasi produksi” untuk keluar dari ketergantungan tunggal pada Tiongkok. Inilah awal mula istilah “China +1 strategy”, yang membuka peluang bagi negara-negara berkembang lain sebagai alternatif basis produksi.
Dampak bagi Indonesia: Tantangan dan Peluang dalam Satu Paket
Bagi Indonesia, kebijakan tarif Trump ibarat dua sisi koin.
Sisi Tantangan:
1. Disrupsi Rantai Pasok
Indonesia sebagai bagian dari rantai nilai global ikut terkena imbas. Ketika bahan baku dari Tiongkok melambat akibat tarif AS, pabrik-pabrik di Indonesia ikut terganggu.
2. Ketidakpastian Ekspor
Ketika pasar global menjadi penuh ketidakpastian, permintaan global melemah. Industri ekspor Indonesia—terutama elektronik dan tekstil—ikut merasakan tekanan.
3. Perang Tarif Turunan
Produk dari Tiongkok yang sebelumnya masuk ke AS, dialihkan ke pasar negara lain. Indonesia bisa kebanjiran produk Tiongkok yang harganya sudah ditekan, menciptakan persaingan tak sehat bagi produk lokal.
Sisi Peluang:
Namun di tengah badai, selalu ada angin cerah bagi yang jeli melihat celah.
1. Relokasi Industri
Banyak perusahaan yang mulai memindahkan basis produksinya dari Tiongkok. Negara seperti Vietnam dan Malaysia jadi favorit, tapi Indonesia tak boleh kalah cepat. Bila pemerintah mampu menyediakan insentif fiskal, reformasi birokrasi, serta infrastruktur memadai, Indonesia bisa menjadi basis produksi baru untuk ekspor ke AS dan dunia.
2. Diversifikasi Pasar Ekspor
Dengan terhambatnya ekspor ke AS atau Tiongkok, eksportir Indonesia bisa terdorong untuk menjelajah pasar-pasar non-tradisional: Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan.
3. Sektor Agrikultur dan Furnitur
Ketika produk pertanian AS dihantam tarif Tiongkok, terbuka peluang bagi Indonesia untuk menyusup ke pasar Tiongkok dengan komoditas tropis: kopi, sarang burung walet, nanas, dan rempah-rempah.
Catatan Kritis: Apakah Kita Siap Menangkap Peluang Itu?
Kerapkali, kebijakan global hanya berdampak signifikan bila direspon cerdas oleh elite nasional. Sayangnya, di saat peluang investasi datang, kerapkali juga Indonesia justru masih bergulat dengan izin berbelit, infrastruktur terbatas, dan reformasi yang setengah hati.
Pemerintah sempat meluncurkan Omnibus Law untuk memperbaiki iklim investasi. Namun pertanyaannya: apakah regulasi ini benar-benar membuat Indonesia ramah investor? Apakah pelaku UMKM dan industri lokal diberi ruang untuk bertumbuh?
Kalau tidak, maka relokasi industri hanya akan menjadikan Indonesia “tempat parkir pabrik”, tanpa nilai tambah yang berarti bagi perekonomian nasional.
Penutup: Menapak Jalan Tengah
Kebijakan tarif Trump membuka babak baru dalam dinamika perdagangan dunia. Kita melihat wajah proteksionisme klasik tampil kembali dalam balutan modern. Dunia menjadi lebih terfragmentasi, dan negara-negara berkembang dipaksa untuk pandai bermanuver.
Indonesia memiliki peluang untuk tumbuh sebagai alternatif baru dalam rantai pasok global. Tapi peluang itu bukan barang gratis. Ia butuh keberanian, reformasi menyeluruh, dan kepemimpinan yang visioner.
Seperti kata ekonom legendaris Paul Krugman: “Globalization is not fate, it’s a choice.”
Dan pilihan itu kini ada di tangan kita.
*
Artikel ini telah terbit juga di SINI
Tidak ada komentar