Sepotong cerita dari Halal Bihalal Idul Fitri 1446 H FKKS Jakarta Timur

Syamsul Bahri, Ketua Umum Forum Komunikasi Komite Sekolah (FKKS) Jakarta Timur


Seorang bapak berkopiah hitam, berbaju batik, datang paling pagi ke kantor kecil di ujung Komplek Walikota Jakarta Timur. Ia membawa sesuatu yang lebih dari sekadar senyum: semangat. Namanya Syamsul Bahri, Ketua Umum Forum Komunikasi Komite Sekolah (FKKS) Jakarta Timur. Hari itu, Selasa, 7 April 2025, ia memimpin halal bihalal sederhana tapi penuh makna.

Hari masih pagi. Matahari belum terlalu terik. Tapi yang datang sudah banyak. Ada bu Lusiawati—sekretaris FKKS—yang menyapa setiap tamu satu per satu. Ada pengurus dari 10 kecamatan yang berdiri bersalaman sambil tertawa kecil—maklum, baru libur panjang. Dan tentu saja, ada tiga sosok penting, yang sebenarnya jarang-jarang bisa hadir sekaligus: Handoko Murhestriyarso, Kepala Suban Kesbangpol Jakarta Timur; Ari Budi Yuswanto, Ketua Sub Kelompok Bina Ideologi; dan Mohamad Jajuli, Ketua Sub Kewaspadaan. Tiga nama penting yang datang bukan sekadar mewakili institusi, tapi hadir sebagai sahabat.

"Saya tahu betul, ini kerja sosial tanpa honor. Tapi dampaknya, besar," kata Syamsul Bahri dengan suara lirih tapi mantap. Ia tidak sedang pidato. Ia sedang berbagi rasa. Ia tahu betul bahwa sebagian besar pengurus FKKS adalah para ibu dan ayah yang sehari-hari bekerja, lalu menyisihkan waktu untuk datang ke sekolah, rapat dengan kepala sekolah, dan kadang… dinyinyirin wali murid.

“Kadang juga difitnah,” celetuk sebuah suara entah dari sudut mana. Tawa pun pecah. Di FKKS, semua sudah paham: kerja ikhlas itu bukan berarti tidak lelah. Tapi mereka tahu untuk apa mereka lelah. 

Handoko Murhestriyarso, Kepala Suban Kesbangpol Jakarta Timur


Di tengah acara, Handoko Murhestriyarso menyampaikan hal yang menghangatkan ruang. Katanya, “Dalam survei Indonesia Harmoni 2025, Jakarta Timur jadi kota dengan responden tertinggi se-DKI Jakarta. Dan FKKS adalah salah satu kunci keberhasilan itu.” Kalimat itu tak panjang, tapi mengandung pengakuan yang jarang terdengar secara formal.

Selepas doa oleh Pak Agus Slamet, makan siang dimulai. Lauknya tidak mewah: ayam bakar, sambal terasi, sayur asem. Tapi yang membuat kenyang bukan lauknya—melainkan percakapan di meja. Mereka mulai membahas rencana ke depan: kartu anggota dua sisi yang bisa berfungsi sebagai e-money, hingga pengaktifan kembali kegiatan FKKS di kecamatan.

Di salah satu sudut, seorang ibu mencatat sesuatu di notes kecilnya. "Nanti saya share di grup," katanya. Tak ada perintah, tak ada insentif. Tapi ia mencatat, karena itu sudah jadi bagian dari dirinya.

Begitulah FKKS Jakarta Timur. Tak semua tahu apa yang mereka kerjakan. Tapi sekolah-sekolah merasakan kehadirannya. Seperti air yang tak terlihat, tapi menghidupkan. Dan hari itu, mereka membuktikan satu hal: bahwa halal bihalal bukan hanya tradisi, tapi juga alat memperkuat ruh kebersamaan dalam kerja sosial bernama komite sekolah. (Mahar Prastowo