Oleh: Puteri Utami, S.P., C.PW.

OPINI – Panasnya suhu politik di Pilkada ulang Pangkalpinang bukan hanya karena persaingan antarfigur. Yang lebih mengkhawatirkan adalah munculnya fitnah terhadap kelompok pendukung calon independen, Tim Merdeka, yang menyokong pasangan Eka Mulya Putra dan Radmida Dawam. Mereka dituding menyalahgunakan data pribadi dalam proses pengumpulan dukungan. Tudingan itu tidak main-main—bahkan berpotensi mematikan demokrasi lokal.

Tim Merdeka membantah keras. Mereka menyebut tudingan itu sebagai bentuk penggiringan opini yang ingin mendelegitimasi kekuatan rakyat di luar partai. Yang menarik, bantahan itu disampaikan dengan cepat, lengkap, dan terbuka. Ini mengindikasikan satu hal: Tim Merdeka siap bertarung, bukan sekadar bersilat lidah.


Demokrasi Diatur oleh Ketakutan

Ini bukan cerita baru. Setiap kali calon independen muncul, sebagian elite politik langsung bereaksi seperti alarm darurat berbunyi. Karena apa? Karena calon independen tidak bisa diatur, tidak punya "tuan" politik, dan sulit dikendalikan oleh sistem lama yang sudah nyaman dengan politik transaksional.

Padahal, dalam sistem demokrasi, kehadiran calon independen adalah indikator sehatnya proses pemilu. Ia memberikan opsi nyata bagi rakyat, yang selama ini cuma disodori pilihan-pilihan dari dapur partai.

Ironisnya, tudingan itu muncul setelah Tim Merdeka mendapat simpati publik lewat kegiatan sosial—seperti bazar minyak goreng murah. Sebuah langkah kecil yang berdampak besar. Namun, ketika kegiatan sosial itu datang dari non-partai, narasinya langsung berubah: dianggap modus operandi politik, bahkan dituduh mencuri data pribadi warga.


Verifikasi Bukan Formalitas

Perlu dicatat, dalam proses pencalonan independen, semua data dukungan diverifikasi secara faktual oleh KPU dan Bawaslu. Dukungan warga disertai fotokopi KTP dan surat pernyataan. Tim verifikator datang langsung ke rumah-rumah warga. Maka, menuduh penyalahgunaan data di sistem seketat itu, sama saja dengan menuduh maling beraksi di tengah keramaian yang diawasi CCTV.

Sarpin, Ketua Tim Merdeka, bahkan menyebut ada warga yang mengaku ditawari uang agar mencabut dukungannya. Ini justru memperlihatkan adanya upaya sistematis untuk menjegal mereka. Lawan taktik kotor harus dengan cahaya kebenaran.


Pertanyaannya: Siapa yang Ketakutan?

Mereka yang selama ini nyaman dengan sistem dua atau tiga calon dari partai, tampaknya merasa terusik dengan munculnya kekuatan alternatif dari rakyat. Karena itu, narasi yang dibangun bukan lagi soal gagasan atau visi, tapi fitnah dan ketakutan. Padahal, inilah saatnya kita bicara bukan hanya tentang siapa yang menang, tapi siapa yang berhak maju, siapa yang berhak dipilih, dan siapa yang berhak memilih.

Jika sistem pemilu kita memang demokratis, seharusnya ia terbuka, tidak alergi terhadap calon dari luar partai. Dan jika ada pelanggaran, gunakan hukum. Tapi jika ini hanya fitnah, maka publik wajib melek dan kritis terhadap siapa di balik layar narasi itu.

---