LUGAS | Jakarta – Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan Hak Asasi Manusia (PDK HAM) Kementerian Hukum dan HAM, Munafrizal Manan, angkat bicara soal kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh seorang dokter residen Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Padjajaran di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Dalam pernyataan resminya, Sabtu, 12 April 2025, Munafrizal menyebut peristiwa itu sebagai bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan komitmen negara dalam pemberdayaan serta perlindungan terhadap perempuan.

“Modus kekerasan seksual seperti ini jelas merupakan bentuk kejahatan yang tidak bisa ditolerir. Dunia pendidikan kedokteran harus bersih dari praktik tidak manusiawi seperti ini,” kata Munafrizal.

Pernyataan tersebut dikeluarkan menyusul merebaknya laporan kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh oknum residen spesialis anestesi. Kasus ini, menurut Munafrizal, tidak berdiri sendiri. Ia menyebut bahwa dunia pendidikan kedokteran telah lama disorot karena praktik perundungan, eksploitasi, hingga pelecehan yang kerap terjadi dalam relasi senior-junior.

Kementerian Hukum dan HAM melalui Kantor Wilayah Jawa Barat disebut sedang mengumpulkan fakta-fakta di lapangan. Di sisi lain, Munafrizal mengapresiasi langkah cepat Kementerian Kesehatan yang langsung menghentikan sementara program residensi spesialis anestesiologi di RS Hasan Sadikin.

Langkah lain yang diambil Kemenkes, seperti mewajibkan pemeriksaan mental bagi para residen dan mengusulkan pencabutan izin praktik bagi pelaku, dinilai sebagai respons progresif. Meski demikian, Munafrizal mendesak agar Kemenkes tak berhenti pada respons insidentil.

“Kita tidak bisa terus merespons secara kasuistik. Harus ada evaluasi menyeluruh dan audit berbasis HAM di dunia pendidikan kedokteran dan praktik kesehatan,” ujarnya.

Ia mengungkapkan bahwa pada 12 Maret 2025 lalu, Direktorat Jenderal PDK HAM telah menerbitkan Surat Edaran tentang Pelaksanaan Kepatuhan HAM Instansi Pemerintah Terkait Hak Kesehatan. Surat tersebut menekankan pentingnya pemenuhan prinsip-prinsip HAM dalam seluruh sektor pelayanan kesehatan.

Lebih jauh, Munafrizal mengingatkan bahwa Indonesia telah memiliki perangkat hukum untuk menangani kekerasan terhadap perempuan, seperti Konvensi CEDAW dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Namun, kata dia, keberadaan regulasi tidak serta-merta menghapus akar persoalan jika tak disertai dengan komitmen moral dan kesadaran etika dari para pelaku profesi.

“Profesi kedokteran adalah profesi kemanusiaan. Mereka yang memilih jalan ini seharusnya paling memahami arti rasa aman, hormat, dan keadilan bagi manusia,” pungkas Munafrizal. 

[]