Kritik terhadap Kebijakan Ekonomi dan Ancaman Revolusi Sosial
Ishak Rafick dari Masa Depan Institute menyoroti dampak kebijakan ekonomi yang dinilai tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat. Ia menyinggung kebijakan Presiden Joko Widodo yang menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) hanya satu bulan setelah dilantik pada 2014. Saat itu, harga minyak dunia hanya berkisar 40 USD per barel, tetapi pemerintah tetap menaikkan harga BBM sebesar Rp2.000 per liter.
“Kenaikan BBM itu menghasilkan tambahan pemasukan negara sekitar Rp120 triliun, tetapi hanya Rp20 triliun yang dialokasikan untuk program sosial seperti Kartu Indonesia Sehat,” ujar Ishak.
Ia juga mengingatkan bahwa kebijakan ekonomi seperti ini dapat mendorong Indonesia ke dalam lingkaran utang dan menambah beban ekonomi masyarakat. “Jika pola ini terus berlangsung, kita hanya akan memperbesar potensi revolusi sosial,” tegasnya.
Menimbang Sejarah Keterlibatan Militer dalam Politik
Sementara itu, pengamat politik dan militer Selamat Ginting mengulas perjalanan panjang hubungan sipil-militer di Indonesia. Menurutnya, perdebatan mengenai peran militer dalam pemerintahan bukanlah hal baru, mengingat sejak era Presiden Soekarno, militer telah dilibatkan dalam berbagai kebijakan strategis.
“Soekarno membentuk Dewan Nasional pada 1957 untuk mengakomodasi peran militer dalam politik. Konsep ‘Jalan Tengah’ yang diperkenalkan oleh Jenderal A.H. Nasution kemudian menjadi cikal bakal Dwifungsi ABRI di era Orde Baru,” papar Selamat.
Namun, ia mengingatkan bahwa supremasi militer atas sipil harus dihindari agar Indonesia tidak mengikuti jejak Myanmar atau Mesir, di mana militer memiliki kendali penuh atas pemerintahan.
“TNI memang berperan dalam menjaga stabilitas, tetapi kita harus memastikan bahwa militer tidak mengambil alih posisi sipil secara luas. Saat ini ada 4.317 militer aktif yang menduduki jabatan sipil, dan ini patut menjadi perhatian,” ujarnya.
Ia juga menyoroti bahwa ada usulan penambahan institusi sipil yang dapat diisi oleh militer aktif, seperti BNPB dan BNPT, yang dinilai bisa memperluas dominasi militer di ranah pemerintahan.
Revisi UU Polri Dinilai Lebih Berbahaya
Di sisi lain, Selamat Ginting menyoroti bahwa Revisi UU Polri sebenarnya berpotensi lebih berbahaya dibandingkan RUU TNI. Menurutnya, Revisi UU tersebut bisa menjadikan kepolisian sebagai lembaga superbody dengan kewenangan yang terlalu luas.
“Pasal 6 dalam rancangan itu memungkinkan kepolisian memiliki yurisdiksi atas kapal berbendera Indonesia di luar negeri. Ini bisa menciptakan ketimpangan kekuasaan yang besar dan berpotensi menjadikan Indonesia sebagai negara kepolisian,” tegasnya.
Tinjauan Konstitusional: Tidak Ada Ruang untuk Militerisme
Margarito Kamis, pakar hukum tata negara, menegaskan bahwa kekhawatiran akan kembalinya supremasi militer tidak memiliki dasar konstitusional. Menurutnya, Pasal 10 UUD 1945 secara jelas menempatkan TNI dan Polri di bawah presiden sebagai panglima tertinggi.
“TNI tidak bisa merancang kebijakan pertahanan dan keamanan secara mandiri, karena mereka berada di bawah Kementerian Pertahanan,” kata Margarito.
Ia juga menyoroti perlunya koordinasi antara berbagai institusi dalam membangun sistem keamanan nasional. “Jika keamanan hanya didefinisikan oleh satu pihak, misalnya kepolisian, tanpa ada koordinasi dengan tentara, maka kita akan kehilangan keseimbangan dalam sistem pertahanan,” tambahnya.
Faizal Assegaf: Rezim Sipil Lebih Rakus dari Militer
Ketua Umum Partai Negoro, Faizal Assegaf, menilai sistem pemerintahan tidak boleh dikuasai oleh satu kelompok tertentu. Ia menyoroti dominasi sipil dalam 27 tahun reformasi yang menurutnya justru mengkhianati rakyat.
"Di era Megawati, aset strategis negara diobral ke asing, konglomerat hitam diberi pengampunan, skandal BLBI merugikan negara ratusan triliun, hingga Pulau Sipadan dan Ligitan lepas ke Malaysia," ujar Faizal di sini.
Ia membandingkan dengan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kerap dituding hendak menghidupkan rezim militerisme. "Ternyata tidak. Meski ada skandal Century dan proyek Hambalang, SBY berhasil mendongkrak ekonomi dan mengurangi utang luar negeri," katanya.
Sebaliknya, lanjut Faizal, Megawati dan PDIP justru menjalin kesepakatan dengan oligarki yang melahirkan rezim Jokowi. "Sepuluh tahun berkuasa, korupsi merajalela, utang membengkak Rp10 ribu triliun, dan BUMN jadi sarang maling," tegasnya.
Faizal juga menuding adanya upaya membenturkan sipil dan militer demi melindungi kepentingan oligarki. "TNI dijadikan musuh publik, sementara Polri diperalat secara bringas. Ini modus licik menutupi kejahatan oligarki, Mega, dan Jokowi. TNI dilemahkan, Gibran siap menggusur Prabowo," tandasnya.
Kesimpulan: Jalan Tengah yang Perlu Ditempuh
Diskusi ini mengungkapkan bahwa revisi UU TNI 2025 harus dilakukan dengan cermat agar tidak menciptakan ketimpangan baru dalam hubungan sipil-militer. Meskipun ada kekhawatiran terhadap meningkatnya peran militer dalam pemerintahan, para pakar sepakat bahwa yang lebih mendesak adalah memastikan bahwa regulasi keamanan nasional tetap berada dalam kerangka checks and balances yang sehat.
Dengan adanya dinamika politik dan regulasi yang berkembang, pemerintah dan DPR diharapkan dapat menyusun kebijakan yang tidak hanya mempertimbangkan kepentingan militer dan sipil, tetapi juga memastikan bahwa supremasi hukum tetap terjaga demi stabilitas negara.
Laporan Dani Prasetya & Tim | Editor: Mahar Prastowo | LUGAS
Tidak ada komentar