LUGAS | Jakarta – Sejumlah aktivis dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Sektor Keamanan menggelar audiensi dengan DPR RI pada Selasa, 18 Maret 2025. Pertemuan tertutup yang berlangsung di Ruang Rapat Badan Anggaran DPR RI, Jakarta Pusat, itu membahas revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Hadir dalam pertemuan tersebut sekitar 28 peserta, dengan Usman Hamid dan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad sebagai penanggung jawab diskusi.
Dalam audiensi itu, koalisi yang terdiri dari berbagai organisasi masyarakat sipil menyoroti sejumlah poin krusial dalam revisi UU TNI, termasuk supremasi sipil, peran militer dalam jabatan sipil, serta mekanisme pertanggungjawaban TNI dalam operasi selain perang.
Desakan Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM
Usai pertemuan, sejumlah peserta menyampaikan pernyataan pers. Sumarsih, perwakilan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), menegaskan pentingnya pengadilan HAM Ad Hoc dalam kasus Semanggi I dan II. Ia juga menyoroti upaya rekonsiliasi yang dinilai belum berjalan secara adil.
“Kami mendorong pimpinan DPR RI agar pelaku peristiwa Semanggi I dan II diadili melalui pengadilan HAM Ad Hoc. Supremasi hukum harus ditegakkan,” ujar Sumarsih.
Kritik terhadap Revisi UU TNI
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menyoroti pentingnya keterlibatan publik dalam revisi UU TNI. Menurutnya, perubahan regulasi ini harus menjamin profesionalisme dan modernisasi TNI tanpa mengorbankan supremasi sipil.
“RUU TNI harus tetap menempatkan TNI dalam jalur pertahanan, bukan merambah ke ranah sipil. Kami menyoroti pasal-pasal yang berpotensi melemahkan supremasi sipil dan demokrasi,” kata Usman.
Ia juga menyinggung kehadiran militer dalam jabatan sipil di luar sektor pertahanan, seperti di Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), yang dinilai bertentangan dengan prinsip profesionalisme militer.
“Pasal 39 UU TNI harus ditegaskan kembali, bahwa TNI dilarang berbisnis dan berpolitik. Pasal 47 juga harus memastikan bahwa prajurit aktif yang menduduki jabatan sipil harus terlebih dahulu pensiun dini,” tambahnya.
Pernyataan senada disampaikan Bedjo Untung dari Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65). Ia menyoroti dampak negatif Dwifungsi ABRI di masa lalu, yang menurutnya merusak sendi-sendi demokrasi dan menyebabkan berbagai pelanggaran HAM.
DPR RI Siap Menampung Aspirasi
Menanggapi berbagai masukan, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad memastikan pihaknya akan mengakomodasi kritik dan rekomendasi dari masyarakat sipil dalam revisi UU TNI. Ia juga menegaskan pentingnya menjaga supremasi sipil dan mencegah kembalinya Dwifungsi TNI.
“Diskusi hari ini berjalan lancar dan konstruktif. Kami memastikan ada titik temu antara DPR RI dan koalisi masyarakat sipil. Kami juga berkomitmen untuk terus membuka ruang dialog dalam revisi UU lainnya,” ujar Dasco.
Audiensi berakhir pada pukul 13.00 WIB, dilanjutkan dengan konferensi pers yang menegaskan komitmen berbagai pihak dalam memperjuangkan reformasi militer dan supremasi sipil di Indonesia.
Laporan Dani Prasetya | Editor: Mahar Prastowo | LUGAS
Tidak ada komentar