Korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang merusak tatanan sosial, ekonomi, dan politik. Selama ini, upaya pemberantasan korupsi lebih banyak menargetkan individu sebagai pelaku utama, sementara perusahaan yang mendapatkan keuntungan dari praktik korupsi kerap luput dari jeratan hukum. Padahal, dalam banyak kasus, korporasi bukan sekadar “fasilitator” korupsi, melainkan aktor utama yang secara sistematis merancang dan melaksanakan strategi suap serta manipulasi hukum demi keuntungan bisnis.
Kajian hukum terbaru menunjukkan bahwa pertanggungjawaban pidana korporasi dalam kasus korupsi masih menghadapi tantangan besar, baik dari segi regulasi maupun implementasi. Di berbagai negara, meskipun konsep Corporate Criminal Liability (CCL) telah diakui, penerapannya masih menghadapi hambatan hukum dan teknis. Indonesia, misalnya, memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001) yang memungkinkan penuntutan terhadap korporasi. Namun, dalam praktiknya, korporasi jarang dikenai sanksi pidana yang sebanding dengan dampak kejahatan yang mereka lakukan.
Kelemahan sistem hukum ini menciptakan peluang bagi perusahaan untuk menghindari pertanggungjawaban, terutama dengan memanfaatkan celah hukum dan terbatasnya kapasitas aparat penegak hukum dalam membuktikan keterlibatan korporasi secara langsung. Tidak jarang, penyelesaian perkara korupsi oleh perusahaan justru dilakukan melalui mekanisme administratif atau perdata, seperti denda atau kompensasi, tanpa konsekuensi pidana yang nyata.
Persoalan ini menjadi semakin kompleks ketika korporasi menggunakan strategi bisnis yang sistematis untuk menutupi praktik korupsi, misalnya melalui perusahaan cangkang (shell companies) atau transaksi keuangan yang sulit dilacak. Model bisnis seperti ini membuat penegakan hukum harus lebih adaptif dan inovatif dalam mengungkap kejahatan korporasi.
Di negara-negara seperti Amerika Serikat dan Inggris, konsep Deferred Prosecution Agreements (DPA) telah diterapkan sebagai strategi untuk meningkatkan pertanggungjawaban korporasi dalam kasus korupsi. Melalui mekanisme ini, perusahaan dapat menghindari tuntutan pidana dengan memenuhi serangkaian syarat ketat, seperti pembayaran denda besar dan perbaikan sistem kepatuhan internal. Model ini dapat menjadi alternatif bagi Indonesia, tetapi harus diiringi dengan pengawasan ketat agar tidak disalahgunakan sebagai jalan pintas bagi perusahaan untuk lolos dari jerat hukum.
Selain reformasi regulasi, hal yang tidak kalah penting adalah membangun budaya kepatuhan hukum di lingkungan korporasi. Sanksi pidana terhadap perusahaan bukan sekadar untuk memberikan efek jera, tetapi juga untuk menciptakan standar bisnis yang lebih bersih dan etis. Untuk itu, pemerintah perlu memperkuat instrumen hukum dan meningkatkan kapasitas aparat penegak hukum agar dapat menangani kasus korupsi korporasi dengan lebih efektif.
Di tengah upaya membangun ekosistem bisnis yang lebih sehat, dunia usaha juga harus menyadari bahwa korupsi bukan hanya ancaman bagi negara, tetapi juga bagi keberlanjutan bisnis itu sendiri. Transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan terhadap hukum harus menjadi prinsip utama dalam menjalankan bisnis, bukan sekadar jargon tanpa implementasi.
Mencegah dan memberantas korupsi korporasi bukan hanya tugas penegak hukum, tetapi juga tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat. Jika perusahaan benar-benar ingin menjadi bagian dari solusi, maka saatnya mereka meninggalkan praktik bisnis yang penuh intrik dan memilih jalur yang lebih berintegritas. (*)
M. Zainul Arifin, S.H., M.H., Ph.D
Praktisi Hukum
Tidak ada komentar