LUGAS | Jakarta - Sukses bekerja di perusahaan listrik Turki, ia lantas pulang kampung untuk memulai aktivitas kemanusiaan di bidang pendidikan dan lingkungan. Ceritanya sangat inspiratif!
_Keyword:_ sekolah mimpi, sekolah mimpi dave, Devirisal Djabumir,
Pernah dengar Sekolah Mimpi? Kalau belum simak baik-baik cerita inspiratif ini. Sekolah Mimpi dibesut oleh Devirisal Djabumir (30 tahun) atau yang akrab disapa dengan Dave, pria yang berasal dari Kepulauan Aru, Maluku. Lalu siapa Dave ini?
Dave merupakan pria yang berasal dari Kepulauan Aru. Dia merantau ke Kota Ambon untuk menempuh ilmu di Universitas Pattimura dengan program studi Pendidikan Bahasa Inggris. Singkatnya, setelah lulus Dave bekerja di salah satu perusahaan listrik Turki bernama Karadeniz Holding.
Namun, berkarir di perusahaan Turki tidak membuat dirinya puas. Dave merasa memiliki tanggung jawab untuk membantu lingkungan sekitarnya khususnya untuk pendidikan agar mereka dapat menimba ilmu dengan baik.
Sayangnya, keputusannya ingin berhenti dari perusahaan tersebut ditentang oleh orang tua dan keluarganya dengan alasan khawatir kariernya akan mati apabila pulang ke kampung halamannya.
“Saya melihat kondisi kampung halaman sangat memprihatinkan. Mulai dari isu Pendidikan dimana banyak anak-anak yang putus sekolah, bahkan ada yang bersekolah namun tidak mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas. Saya tidak ingin anak-anak di kampung halamannya termarjinalisasi, dan bisa mendapatkan kualitas pendidikan yang layak bagi mereka,” ungkap Dave.
Selain masalah pendidikan, Dave melihat masalah lingkungan di kampung halamannya, khususnya sampah plastik. Dave mengatakan sampah plastik ini merupakan salah satu pencemar laut dan lingkungan terbesar di Kepulauan Aru. Hal ini disebabkan oleh kurang adanya kesadaran dan tanggung jawab masyarakat terhadap lingkungan, ditambah minimnya infrastruktur dan sistem pengelolaan sampah.
“Hal tersebut tentunya berdampak terhadap keberlanjutan laut di Aru yang juga dirasakan oleh masyarakat setempat karena mayoritas masyarakat setempat bergantung hidup pada laut dan juga sebagai jalur lalu lintas penghubung antara satu pulau dengan pulau yang lain,” tuturnya.
Singkatnya, berangkat dari permasalahan tersebut, dengan penuh semangat Dave mendirikan Sekolah Mimpi pada April 2018. Sekolah ini menggunakan sistem yang terintegrasi dengan alam dan bernuansa outdoor. Anak-anak dididik dengan baik oleh Dave dan para relawan lainnya.
Saat awal berdiri, Dave merupakan satu-satunya pengajar di sekolah tersebut, dengan jumlah siswa berkisar 6 anak. Bukan hanya mengentaskan ketimpangan pendidikan saja, sekolah ini juga dimanfaatkan sebagai sarana untuk mengurangi volume sampah plastik di daerah sekitar.
Pria 30 tahun tersebut mengajak anak-anak yang ingin menimba ilmu dengan syarat membayar biaya sekolah dengan sampah. Tujuannya adalah untuk mengurangi volume sampah yang bermuara ke laut serta membangun kesadaran lingkungan.
“Sampah-sampah yang dikumpulkan tersebut sebagian dibuat kerajinan, dan sisanya dibuang ke tempat pembuangan setempat. Jadi anak-anak yang melihat temannya menggunakan plastik saja langsung mereka peringatkan untuk tidak membuangnya sembarangan. Dengan kesadaran ini, jumlah pencemaran sampah di laut pun ikut berkurang,” ucapnya.
Dave menjelaskan Sekolah Mimpi menggunakan sistem pendidikan inklusif, dengan pelajaran seperti Bahasa Inggris, kewirausahaan, public speaking, kelas inspirasi, dan tentunya ragam pelajaran terkait lingkungan. Proses pembelajaran dilakukan dari pukul 16.00 hingga 18.00.
Pembelajaran tentunya diselingi oleh games dengan menggunakan alam sebagai mediasinya. Berbagai kegiatan juga dilakukan seperti mengenal biota laut, bagaimana sampah dapat berdampak pada laut, hingga mengumpulkan sampah bersama.
Sekolah mimpi tidak hanya fokus kepada belajar mengajar saja namun juga mengadvokasi kebijakan yang pro terhadap lingkungan, melakukan program-program lingkungan seperti capacity-building, festival, dan pelatihan. Anak-anak yang dididik di sini menunjukkan semangat dan kemauannya untuk terus menempuh pendidikan.
“Yang pasti kami menerapkan bahwa belajar itu fun, jadi anak-anak senang untuk belajar dan bersekolah,” sebutnya.
Saat ini murid di Sekolah Mimpi sudah berjumlah mencapai 96 siswa dengan taraf PAUD hingga SMP. Jumlah relawan yang mengajar di sana mencapai 15 orang, dari kalangan Mahasiswa maupun Pekerja.
Selain itu, sejak 2019 ada relawan dari Gereja yang berlokasi di Amerika Serikat untuk memberikan beasiswa kepada murid Sekolah Mimpi. Beasiswa ini menanggung biaya penuh untuk bersekolah di taraf SMA dan Perguruan Tinggi. Beasiswa ini berawal dari pihak Amerika Serikat tersebut datang untuk mengajar di kelas inspirasi pada tahun 2018, dan berhasil menjaga baik relasi mereka hingga terwujudnya program beasiswa tersebut. Saat ini, sebanyak 7 anak sudah diberi beasiswa untuk taraf SMA dan 1 mahasiswa di Salatiga.
Melalui Sekolah Mimpi, Dave mendapatkan banyak sekali penghargaan, sebut saja dia terpilih sebagai Duta Pemuda Peduli Lingkungan oleh Kemenpora, Peraih Satu Indonesia Award di bidang pendidikan tingkat provinsi, menjadi delegasi Indonesia pada South East Asian Countries and Japan’s Conference. Dave berharap prestasinya ini dapat memperbaiki cara berpikir bahwa pemuda-pemudi Maluku juga dapat diperhitungkan di panggung nasional maupun global.
Tidak ada komentar