LUGAS | Tak banyak masyarakat yang mengetahui bahwa sejak 2014 lalu, 14 Desember disepakati menjadi Hari Sejarah.
Sekelompok
sejarawan dan aktivis sejarah yang antara lain dimotori oleh Mukhlis
Paeni yang kala itu menjadi Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia dan
beberapa komunitas sejarah lain yang juga mendapat dukungan dari
Direktorat Sejarah Kementrian Pendidikan, Riset dan Teknologi RI
mengagas lahirnya Hari Sejarah ini.
Bukan tanpa alasan 14
Desember yang dipilih dari 356 hari yang ada dalam setahun. Tanggal
tersebut diambil karena Kongres Sejarah Indonesia pertama yang diadakan
pada 14-18 Desember 1957 di Yogyakarta.
Kongres sejarah 1957
memang merupakan sebuah penanda penting dalam studi sejarah di Indonesia
karena untuk pertama kalinya para sejarawan berkumpul untuk merumuskan
agenda bersama, khususnya mengangkat sudut pandang Indonesia tentang
sejarah.
Ketua DPR RI Puan Maharani mengapresiasi keberadaan Hari
Sejarah yang jatuh pada hari ini. Menurutnya, Hari Sejarah merupakan
sebuah momen penting yang perlu diketahui dan ditandai tak hanya oleh
para sejarawan, tapi juga oleh masyarakat.
Puan mengatakan
dengan tegas bahwa sebuah bangsa tak mungkin lepas dari sejarah yang
membuatnya mengada. "Sejak lama, para pendiri bangsa sudah mewanti-wanti
kita sebagai penerus bangsa untuk tidak sekali pun meninggalkan
sejarah," katanya, mengutip Jasmerah yang merupakan akronim dari kalimat Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah
yang merupakan kritik mahasiswa Angkatan 66 kepada Presiden Soekarno,
kemudian juga pernah diucapkan dalam pidato kepresidenan di HUT RI
ke-21.
Ia pun meyakini, sebagai sebuah landasan bangsa, sejarah
perlu dirawat dan dihidupi tak hanya oleh para sejarawan, melainkan juga
oleh masyarakat.
Kurang tersosialisasinya Hari Sejarah ke
kalangan masyarakat umum juga disinyalir oleh Direktur Jenderal
Kebudayaan RI, Hilmar Farid yang juga seorang sejarawan dan pendiri
Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI). Menurutnya, Hari Sejarah saat
ini masih menjadi semacam pengingat bagi kalangan yang punya perhatian
khusus pada penulisan sejarah tentang agenda bersama yang dibicarakan
dalam Kongres 1957 dan belum terlalu diketahui oleh masyarakat di luar
lingkungan sejarwan dan pemerhati sejarah. "Mungkin karena sifatnya
yang sangat spesifik, yaitu memperingati sebuah kongres ahli sejarah
yang terjadi 1957. Kesadaran sejarah masyarakat saat ini mungkin jauh
lebih terarah pada peringatan yang lain seperti Proklamasi 17 Agustus,
Sumpah Pemuda, atau HUT kabupaten/kota, provinsi, dan seterusnya,"
Hilmar mengungkapkan.
Sebagai seorang sejarawan, Hilmar berharap
Hari Sejarah yang kini secara rutin diperingati dapat menjadi pemicu
munculnya inisiatif penelitian dan penulisan sejarah yang dapat
berkontribusi pada pembentukan pendapat dan pandangan publik. "Studi
sejarah menyediakan data dan informasi sebagai basis dari informed
discussion yang sangat esensial dalam masyarakat yang sehat. Studi
sejarah dapat menghindarkan kita dari prasangka, spekulasi, hoax dll
yang merajai ruang publik kita sekarang ini," Hilmar menandaskan.
Tidak ada komentar