Reporter: Agus Wiebowo | Editor: Mahar Prastowo
LUGAS | Jakarta - Garda NTT di Jakarta melalui ketua umumnya Willfridus Yons Ebit, kembali menanggapi soal tindakan represif yang dilakukan oleh Pemprov NTT dalam upaya mengambil lahan hutan adat masyarakat Besipa'e untuk pengembangan tanaman dinas peternakan.
Willfridus Yons Ebit bersama sejumlah anggota Garda NTT pada Sabtu (22/08/2020) melakukan aksi menyalakan lilin di depan Istana Negara di kawasan silang Monas guna menyampaikan keprihatinannya.
Garda NTT merekomendasikan upaya penyelesaian sengketa hutan adat Besipa'e dengan Pemprov NTT dalam 4 (empat tuntutan), yaitu agar dihentikan tindakan represif dan intimidasi terhadap masyarakat Besipa'e.
Kemudian agar dikembalikan hak-hak tanah masyarakat yang sudah dihilangkan secara sepihak oleh Pemerintah Provinsi NT.
Lebih dari itu, Garda NTT juga mendorong agar Pemprov NTT untuk lebih mengedepankan dialog yang menjunjung tinggi nilai perikemanusiaan, serta mendorong agar Pemprov lebih mengedepankan pendekatan persuasif, bukan dengan pendekatan militerisasi.
"Kami mendorong agar Pemprov lebih mengedepankan dialog yang menjunjung tinggi nilai perikemanusian. Pemprov juga harus lebih mengedepankan pendekatan persuasif, bukan militerisasi," ujar Wilfridus Yons Ebit.
Memperkuat pernyataan Yons Ebit, Ketua tim hukum Garda NTT D. Aliando S.H mengatakan, pemerintah provinsi NTT telah mengabaikan Amanat UUD 1945.
“Secara Undang-undang Dasar 1945 pasal 18 E ayat 2 mengatakan jelas bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih sesuai dengan prinsip NKRI,” paparnya.
Karenanya, Ia menyayangkan dan prihatin dengan tindakan represif aparat keamanan terhadap warga Besipa’e.
“Intimidasi dan cara-cara militerisasi yang terjadi kemarin itu mestinya tidak terjadi kalau kita mengutamakan langkah persuasif dan dialog,” ucapnya.
Sebagaimana diketahui, dalam video dan foto yang viral, aparat keamanan melakukan intimidasi terhadap warga sehingga tampak ketakutan. Apalagi sebelumnya rumah tinggal mereka telah diratakan dengan tanah, kemudian ketika mereka membuat rumah non permanen sekadar untuk berteduh pun kembali digusur, sehingga kini mereka tidur di bawah pohon.
Sebelumnya, keributan juga pernah terjadi pada 12 Mei 2020 lalu, ketika tiba-tiba Gubernur NTT Victor Bungtilu Laiskodat melakukan kunjungan mendadak ke Besipa'e dan memaksa warga membongkar pagar yang dibuat sebagai batas wilayah adat. Pada saat itu Gubernur mendapat perlawanan spontan dari kaum wanita dengan bertelanjang dada di hadapan Gubernur NTT dan rombongan.
Kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah Provinsi NTT, Zet Sony Libing, mengatakan kepada media bahwa pemprov bermaksud melakukan relokasi warga tersebut karena pihaknya mau melakukan pengembangan kelor, lamtoro terambah dan porong serta peternakan sapi. Pihaknya juga telah menyediakan rumah dan kaveling tanah bagi 37 warga Pubabu-Besipae itu.
Meski sudah lima unit rumah relokasi telah dibangun, mereka tidak mau menempati dengan alasan dibangun di tanah yang dimiliki orang lain, sehingga khawatir jika di kemudian hari diusir oleh pemiliknya.
Lahan seluas 3.780 hektare yang kini disengketakan, awalnya diserahkan pengelolaannya oleh Suku Besi dan Pae kepada Pemerintah Provinsi NTT untuk dijadikan daerah pengembangan ternak pada tahun 1982, guna peningkatan kemakmuran warga sekitar. Proyek ranch mini Besipae inisiatif Ibu Tien Soeharto itu meliputi lima desa yakni Linamnutu, Enoneten, Polo, Mio dan Oe'Ekam. [L]
Tidak ada komentar