LUGAS - Isu reformasi PBB yang dikemukakan dalam pidato pembukaan Konferensi Asia Afrika (KAA) oleh Presiden Joko Widodo, menjadi catatan penting bagi para peserta konferensi. Sebelumnya, juga telah digaungkan oleh Prof Dr Makarim Wibisono dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Sabtu (11/4).
Dibawah ini adalah artikel terkait pidato Prof Dr Makarim Wibisono mengenai perlunya reformasi PBB yang dimuat Kompas, 13 April 2015 silam.
KOMPAS | SURABAYA - Isu reformasi kelembagaan Perserikatan Bangsa-Bangsa kian mengemuka akhir-akhir ini akibat perubahan politik global. Meski demikian, PBB diakui mampu mencegah Perang Dunia III selama 60 tahun ini dan menjaga perdamaian serta gencatan senjata di area konflik.
Bagaimanapun, negara-negara anggota PBB masih berharap reformasi terhadap PBB dilakukan untuk menghindari gejala unilateralisme. Indonesia bisa berperan dalam reformasi PBB itu.
Demikian gagasan dalam pidato pengukuhan Makarim Wibisono sebagai Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Sabtu (11/4). Acara dipimpin Rektor Universitas Airlangga Fasich dan dihadiri antara lain Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
Makarim menyampaikan pidato "Revitalisasi Pengelolaan Global dalam Mengatasi Masalah Dunia Masa Kini". Menurut Pelapor Khusus PBB untuk Isu HAM di Palestina itu, sejak akhir perang dingin, setelah disintegrasi Uni Soviet pada akhir 1980, sejumlah kalangan mempertanyakan peran PBB.
Lembaga yang dibentuk berdasar konstelasi politik internasional 1945 itu diragukan masih cocok dengan kondisi dunia masa kini. Berbagai gejala baru, seperti arus globalisasi, kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, serta saling keterkaitan jaringan keuangan dunia, telah mengubah lanskap politik global.
Karakter politik internasional mulai bergeser, yang awalnya berpusat pada isu keamanan dan politik, ke arah isu perubahan iklim, good governance, hak asasi manusia, dan demokrasi. Dominasi aktor wakil pemerintah berkurang dalam diplomasi multilateral, digantikan tokoh LSM, akademisi, media massa, dan perusahaan multinasional, bahkan penyiar CNN atau Al Jazeera.
Namun, problem keamanan belum surut. Bermunculan konflik bersenjata yang cenderung meningkat. Bedanya, pola konflik itu berubah, dari awalnya konflik antarnegara menjadi konflik antarelemen bangsa dalam satu negara (intra-states conflicts).
"Pertanyaannya, apakah PBB masa kini masih sanggup menjalankan peran utama mengawal usaha mempertahankan perdamaian dan keamanan internasional? Apakah korban terus berjatuhan di Suriah, Afganistan, dan Nigeria akibat kekejaman Boko Haram tanpa kemampuan PBB menciptakan perdamaian setempat?" kata Makarim.
Kekompakan di PBB sulit dicapai, khususnya di Dewan Keamanan PBB. PBB terkesan tak lagi responsif pada kejadian yang membahayakan perdamaian dan keamanan dunia. PM India Manmohan Singh, tahun 1984, menyatakan, ada defisit demokrasi dalam PBB sehingga multilateralisme sulit didapatkan. Ia pun meminta restrukturisasi PBB dilakukan.
Akibatnya, kini negara besar tergoda mengambil langkah sendiri merespons sebuah kasus karena PBB miskin respons. Hal ini disebut gejala unilateral.
Sumber
Sumber
Tidak ada komentar