LUGAS | Jakarta - Polres Jakarta Timur menangkap seorang pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, bernama Hendra Supriatna, saat kericuhan sengketa tanah yang terjadi di Jalan pemuda RT 2, RT 3, RW 02, Rabu (17/12) pagi tadi. Hendra ditangkap, lantaran mencoba menghalangi proses pengukuran tanah yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Direktur LBH Jakarta Febi Yonesta mengatakan, peristiwa di Rawamangun ini membuktikan bahwa Polres Jakarta Timur menjadi mesin kriminalisasi pesanan mafia tanah yang berpihak kepada pengusaha.
"Polres Jakarta Timur sesungguhnya belum memiliki kewenangan melakukan penyidikan, karena kasus ini jelas kasus perdata," kata Febi, di Mapolres Jakarta Timur.
Febi meminta masyarakat untuk memberikan dukungan terhadap kasus kekerasan tersebut. Menurutnya peristiwa seperti ini bisa mengancam siapa saja dan melemahkan perjuangan masyarakat dalam menuntut hak-hak dasarnya.
"Ini penghinaan terhadap profesi advokat. Berdasarkan UU Advokat, advokat memiliki kekebalan dalam menjalankan kerja-kerjanya sebagai penegak hukum. Polisi yang memukul harus dihukum karena pemukulan merupakan tindak pidana," jelasnya.
Kasat reskrim Jakarta Timur AKB Ade Rachmat Idnal belum bisa dikonfirmasi terkait kasus penangkapan tersebut saat dihubungi melalui sambungan telpon dan pesan singkat.
Sebelumnya, ratusan warga Jalan Pemuda RT 2, RT 3, RW 02, menolak pengukuran lahan oleh BPN terkait sengketa tanah seluas 2.900 meter persegi. Pengukuran tanah ini dilakukan untuk membatasi tanah kepemilikan warga dengan Wiliam Silitonga, yang mengklaim memiliki sertifikat resmi kepemilikan tanah.
Samsul Hidayat, salah satu warga menjelaskan, warga menolak pengukuran lantaran memiliki sertifikat sah kepemilikan tanah sejak tahun 1970-an. Namun demikian pihak Wiliam Silitonga memaksa untuk pembebasan lahan.
"Kami sebagai warga menolak pengukuran tanah. Itu harga mati kami tidak akan menyerahkan tanah yang kami tempati yang sudah berpuluh tahun," kata Samsul, di lokasi kejadian, Rabu (17/12).
Direktur LBH Jakarta Febi Yonesta mengatakan, peristiwa di Rawamangun ini membuktikan bahwa Polres Jakarta Timur menjadi mesin kriminalisasi pesanan mafia tanah yang berpihak kepada pengusaha.
"Polres Jakarta Timur sesungguhnya belum memiliki kewenangan melakukan penyidikan, karena kasus ini jelas kasus perdata," kata Febi, di Mapolres Jakarta Timur.
Febi meminta masyarakat untuk memberikan dukungan terhadap kasus kekerasan tersebut. Menurutnya peristiwa seperti ini bisa mengancam siapa saja dan melemahkan perjuangan masyarakat dalam menuntut hak-hak dasarnya.
"Ini penghinaan terhadap profesi advokat. Berdasarkan UU Advokat, advokat memiliki kekebalan dalam menjalankan kerja-kerjanya sebagai penegak hukum. Polisi yang memukul harus dihukum karena pemukulan merupakan tindak pidana," jelasnya.
Kasat reskrim Jakarta Timur AKB Ade Rachmat Idnal belum bisa dikonfirmasi terkait kasus penangkapan tersebut saat dihubungi melalui sambungan telpon dan pesan singkat.
Sebelumnya, ratusan warga Jalan Pemuda RT 2, RT 3, RW 02, menolak pengukuran lahan oleh BPN terkait sengketa tanah seluas 2.900 meter persegi. Pengukuran tanah ini dilakukan untuk membatasi tanah kepemilikan warga dengan Wiliam Silitonga, yang mengklaim memiliki sertifikat resmi kepemilikan tanah.
Samsul Hidayat, salah satu warga menjelaskan, warga menolak pengukuran lantaran memiliki sertifikat sah kepemilikan tanah sejak tahun 1970-an. Namun demikian pihak Wiliam Silitonga memaksa untuk pembebasan lahan.
"Kami sebagai warga menolak pengukuran tanah. Itu harga mati kami tidak akan menyerahkan tanah yang kami tempati yang sudah berpuluh tahun," kata Samsul, di lokasi kejadian, Rabu (17/12).
Tidak ada komentar