Ketika Jurnalis Menjadi Alat Propaganda Kekejaman Militan
LUGAS | James Wright Foley alias Jim tidak akan menjadi pekerja media terakhir yang meregang nyawa di tangan militan Negara Islam alias Islamic State (IS). Pria 40 tahun itu barangkali juga tidak akan menjadi warga Amerika Serikat (AS) terakhir yang kembali ke tanah airnya dalam kantong mayat.
* * *
HINGGA Sabtu (23/8), masyarakat internasional masih ramai membicarakan video pembunuhan Foley yang beredar sejak 19 Agustus. Bukan hanya adegan sadis yang membuat YouTube menghapus video tersebut dari situs mereka, tetapi juga aksen Inggris sang algojo. Belakangan, berkembang informasi bahwa pria yang berpakaian serba hitam itu bukan oknum pemenggal kepala Foley.
Aki Peritz mengungkapkan, adanya kemungkinan bahwa IS yang dulu dikenal dengan nama ISIL dan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria, Red) mengedit video tersebut. Mantan pengamat antiteror pada Badan Intelijen Pusat AS (CIA) itu tidak yakin algojo yang hanya membawa sebilah pisau kecil tersebut menebas kepala Foley. Setidaknya, pemenggalan itu tidak terjadi segera setelah Foley menyampaikan pesan terakhirnya.
Mungkin, menurut dia, algojo yang kabarnya berasal dari Inggris itu memang membunuh jurnalis foto lepas Global Post tersebut. Tetapi, Peritz hampir pasti yakin bahwa bukan algojo itu yang memisahkan kepala Foley dari tubuhnya. ’’Sebelum muncul gambar mengerikan yang menunjukkan mayat korban, layar tiba-tiba menjadi hitam selama beberapa detik,’’ katanya sebagaimana dilansir Washington Post Jumat (22/8).
Selain kejanggalan pada adegan pemenggalan, Peritz juga mengungkap fakta lain yang makin membuat dia tidak yakin bahwa algojo Inggris itu memenggal Foley. ’’Pakaian dan tangan algojo tersebut sangat bersih saat mendampingi (Steven Joel) Sotloff dalam rangkaian video itu,’’ ungkap penulis buku Find, Fix, Finish: Inside the Counterterrorism Campaigns that Killed bin Laden and Devastated Al Qaeda.
Sotloff juga merupakan jurnalis AS yang saat ini mereka sandera. Dalam video itu, disebutkan bahwa nyawa Sotloff bergantung pada langkah AS dalam menyikapi sepak terjang ISIS di Iraq.
Bisa jadi, menurut Peritz, video tentang Sotloff tersebut dibuat sebelum pemenggalan Foley. Bahkan, adegan itu mungkin direkam pada hari yang berbeda. ’’Kelompok yang sebelum menjadi ISIS atau ISIL dikenal sebagai Al Qaeda Iraq itu sudah banyak berubah. Kini mereka melek teknologi dan paham cara mengedit video,’’ paparnya.
Dalam artikelnya, Peritz menyatakan, ISIS memang ingin menyita perhatian dunia agar keinginan mereka tercapai. Apalagi, sebelum akhirnya memenggal Foley, mereka berkorespondensi lewat e-mail dengan orang tua korban. Dalam rangkaian surat elektronik itu, mereka menyebutkan harga yang harus dibayar untuk nyawa Foley. Yakni, uang tebusan atau kesepakatan politik dengan Washington.
Jumat lalu, orang tua Foley, John dan Diane, mengungkapkan keberadaan beberapa e-mail tersebut. Kepada suami istri asal Kota Rochester, Strafford County, Negara Bagian New Hampshire, itu, ISIS menebar ancaman. Mereka akan membunuh Foley jika tuntutan mereka tidak dikabulkan. Tuntutannya adalah USD 132,5 juta (sekitar Rp 1,5 triliun).
’’Saya mengabaikan hal (ancaman kematian Foley, Red) tersebut. Saya tidak pernah menyangka jika mereka bisa sebrutal itu,’’ kata John dalam program NBC’s Today. Hingga awal tahun lalu, dia masih berharap bisa bertemu dengan sang putra yang raib di Syria sejak November 2012. Tetapi, video sadis tersebut telah memupus harapan John dan istrinya.
Jika dibandingkan dengan kelompok militan yang lain, ISIS memang lebih sering memamerkan kekerasan yang telah mereka lakukan. Misalnya, sekitar pekan lalu. Belum lama ini, ISIS membunuh sekitar 700 warga Syria bagai menyembelih hewan ternak. Dalam video sadis yang lantas mereka unggah ke internet, tampak militan IS yang menertawakan dan mengejek mayat para korban.
Sayangnya, pembantaian 700 warga Syria itu tidak mendapat perhatian media. Terutama, media Barat. Pembunuhan sadis tersebut baru menjadi perbincangan setelah AS kehilangan Foley Selasa (19/8). ’’Bagi ISIS, nyawa seorang warga AS jauh lebih berarti ketimbang nyawa ratusan warga Syria. Jika propaganda mereka sukses, kita mendapat suguhan sadis lagi dalam waktu dekat,’’ ujar Peritz.
Kematian Foley di tangan ISIS membuat pemerintahan Presiden Barack Obama repot. Sebab, mau tidak mau, Washington harus bertindak. Apalagi, dalam rekaman video terakhir, Foley menyebutkan tuntutan ISIS terhadap AS. Bahkan, si algojo menyebut nama sang presiden dan Menteri Luar Negeri John Kerry. Tampaknya, Gedung Putih harus mempertimbangkan lagi kebijakannya soal teroris.
Selama ini, Washington tidak pernah mau bernegosiasi dengan teroris meski istilah itu hanya digunakan AS. Karena tidak mungkin melanggar aturan yang sudah baku tersebut, Obama lantas berusaha menghancurkan sarang ISIS hingga tuntas. Jumat lalu Washington membahas lagi opsi untuk menggempur Syria yang juga menjadi sarang IS.
Sebagai bentuk penghormatan untuk Foley, Gubernur New Hampshire Maggie Hassan mencanangkan hari berkabung. Rencananya, masyarakat New Hampshire mengibarkan bendera setengah tiang sebagai bentuk penghormatan untuk Foley. Aksi simpatik itu akan mereka lakukan Minggu (24/8 atau Senin WIB). ’’Kami juga akan menyelenggarakan ibadah khusus untuk mengenang Foley,’’ ujarnya.
69 Jurnalis Tewas, 80 Diculik
Jurnalis-jurnalis berkebangsaan Amerika Serikat (AS) di area konflik bisa tewas satu per satu. Mereka tewas bukan karena tertembus peluru di medan perang, melainkan dipenggal militan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Sebab, bukan tidak mungkin ISIS sejatinya telah menculik jurnalis-jurnalis AS, menyembunyikannya, dan menunggu waktu yang tepat untuk menghabisi mereka.
James Wright Foley baru permulaan. Saat ini ISIS sudah memiliki Steven Joel Sotloff sebagai tahanan. Jurnalis yang pernah bekerja di majalah Time itu menghilang sekitar setahun lalu di Syria.
Keluarganya tidak tahu Sotloff berada di mana. Keberadaan Sotloff baru diketahui seusai ISIS memenggal Foley. Saat itu salah seorang anggota ISIS menegaskan, jika AS tidak menarik pasukannya dari Iraq, Sotloff akan bernasib sama dengan Foley.
Selama ini Sotloff telah bekerja sebagai jurnalis freelance di National Interest, Christian Science Monitor, The Daily Caller, Foreign Policy, MediaLine, dan yang paling baru bekerja di World Affair Journal. Sotloff kerap melaporkan berita-berita dari garis depan. Dia telah menulis tentang Libya pasca ditinggalkan Khadafi serta perang sipil di Syria. Padahal, selama ini Syria termasuk negara yang paling tidak aman bagi jurnalis.
Berdasar data Komite Perlindungan Jurnalis, setidaknya ada 69 jurnalis tewas selama perang di Syria. Selain itu, 80 orang telah diculik. Tidak tertutup kemungkinan sebagian besar adalah jurnalis dari AS.
Saat ini orang tua Sotloff menutup diri dari dunia luar. Mereka menolak diwawancara dan meminta privasi mereka dihargai. Orang tua Sotloff tinggal di Florida. Mereka mengetahui kondisi terakhir Sotloff hanya melalui tweet yang dia kirim pada Agustus 2013.
Sebenarnya sebagian besar anggota Kongres Florida Selatan sudah mengetahui penculikan Sotloff tersebut. Mereka berusaha membebaskan Sotloff bersama dengan tahanan AS lain. Namun, sebelum upaya itu berhasil, ISIS mengancam memenggal Sotloff.
’’Kami melakukan apa pun yang kami bisa. Jujur saja, kami memiliki kemampuan yang terbatas. Kami tidak punya jalur diplomatik dengan ISIS. Mereka adalah kelompok teroris yang kejam,’’ ujar anggota kongres dari partai Republik, Debbie Wasserman Schultz.
Teman dan keluarga Sotloff kini menempuh cara lain untuk menyelamatkan orang yang mereka sayangi. Membuat petisi pada Gedung Putih yang mendesak agar pemerintah melakukan apa pun untuk menyelamatkan sang jurnalis.
’’Kami yang bertanda tangan di bawah ini memintamu, Presiden Obama, untuk mengambil tindakan apa pun yang dibutuhkan dan secepatnya menyelamatkan nyawa Steven (Sotloff),’’ demikian sebagian isi petisi tersebut. Petisi itu ditandatangani 7.336 orang.
Pemerintah AS menyatakan telah menyerang markas-markas ISIS di Syria. Namun, hal tersebut tidak cukup. Belum diketahui Obama akan menarik pasukannya dari Iraq atau tidak. Yang jelas, AS berjanji menyelamatkan warganya. (jp)
LUGAS | James Wright Foley alias Jim tidak akan menjadi pekerja media terakhir yang meregang nyawa di tangan militan Negara Islam alias Islamic State (IS). Pria 40 tahun itu barangkali juga tidak akan menjadi warga Amerika Serikat (AS) terakhir yang kembali ke tanah airnya dalam kantong mayat.
* * *
HINGGA Sabtu (23/8), masyarakat internasional masih ramai membicarakan video pembunuhan Foley yang beredar sejak 19 Agustus. Bukan hanya adegan sadis yang membuat YouTube menghapus video tersebut dari situs mereka, tetapi juga aksen Inggris sang algojo. Belakangan, berkembang informasi bahwa pria yang berpakaian serba hitam itu bukan oknum pemenggal kepala Foley.
Aki Peritz mengungkapkan, adanya kemungkinan bahwa IS yang dulu dikenal dengan nama ISIL dan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria, Red) mengedit video tersebut. Mantan pengamat antiteror pada Badan Intelijen Pusat AS (CIA) itu tidak yakin algojo yang hanya membawa sebilah pisau kecil tersebut menebas kepala Foley. Setidaknya, pemenggalan itu tidak terjadi segera setelah Foley menyampaikan pesan terakhirnya.
Mungkin, menurut dia, algojo yang kabarnya berasal dari Inggris itu memang membunuh jurnalis foto lepas Global Post tersebut. Tetapi, Peritz hampir pasti yakin bahwa bukan algojo itu yang memisahkan kepala Foley dari tubuhnya. ’’Sebelum muncul gambar mengerikan yang menunjukkan mayat korban, layar tiba-tiba menjadi hitam selama beberapa detik,’’ katanya sebagaimana dilansir Washington Post Jumat (22/8).
Selain kejanggalan pada adegan pemenggalan, Peritz juga mengungkap fakta lain yang makin membuat dia tidak yakin bahwa algojo Inggris itu memenggal Foley. ’’Pakaian dan tangan algojo tersebut sangat bersih saat mendampingi (Steven Joel) Sotloff dalam rangkaian video itu,’’ ungkap penulis buku Find, Fix, Finish: Inside the Counterterrorism Campaigns that Killed bin Laden and Devastated Al Qaeda.
Sotloff juga merupakan jurnalis AS yang saat ini mereka sandera. Dalam video itu, disebutkan bahwa nyawa Sotloff bergantung pada langkah AS dalam menyikapi sepak terjang ISIS di Iraq.
Bisa jadi, menurut Peritz, video tentang Sotloff tersebut dibuat sebelum pemenggalan Foley. Bahkan, adegan itu mungkin direkam pada hari yang berbeda. ’’Kelompok yang sebelum menjadi ISIS atau ISIL dikenal sebagai Al Qaeda Iraq itu sudah banyak berubah. Kini mereka melek teknologi dan paham cara mengedit video,’’ paparnya.
Dalam artikelnya, Peritz menyatakan, ISIS memang ingin menyita perhatian dunia agar keinginan mereka tercapai. Apalagi, sebelum akhirnya memenggal Foley, mereka berkorespondensi lewat e-mail dengan orang tua korban. Dalam rangkaian surat elektronik itu, mereka menyebutkan harga yang harus dibayar untuk nyawa Foley. Yakni, uang tebusan atau kesepakatan politik dengan Washington.
Jumat lalu, orang tua Foley, John dan Diane, mengungkapkan keberadaan beberapa e-mail tersebut. Kepada suami istri asal Kota Rochester, Strafford County, Negara Bagian New Hampshire, itu, ISIS menebar ancaman. Mereka akan membunuh Foley jika tuntutan mereka tidak dikabulkan. Tuntutannya adalah USD 132,5 juta (sekitar Rp 1,5 triliun).
’’Saya mengabaikan hal (ancaman kematian Foley, Red) tersebut. Saya tidak pernah menyangka jika mereka bisa sebrutal itu,’’ kata John dalam program NBC’s Today. Hingga awal tahun lalu, dia masih berharap bisa bertemu dengan sang putra yang raib di Syria sejak November 2012. Tetapi, video sadis tersebut telah memupus harapan John dan istrinya.
Jika dibandingkan dengan kelompok militan yang lain, ISIS memang lebih sering memamerkan kekerasan yang telah mereka lakukan. Misalnya, sekitar pekan lalu. Belum lama ini, ISIS membunuh sekitar 700 warga Syria bagai menyembelih hewan ternak. Dalam video sadis yang lantas mereka unggah ke internet, tampak militan IS yang menertawakan dan mengejek mayat para korban.
Sayangnya, pembantaian 700 warga Syria itu tidak mendapat perhatian media. Terutama, media Barat. Pembunuhan sadis tersebut baru menjadi perbincangan setelah AS kehilangan Foley Selasa (19/8). ’’Bagi ISIS, nyawa seorang warga AS jauh lebih berarti ketimbang nyawa ratusan warga Syria. Jika propaganda mereka sukses, kita mendapat suguhan sadis lagi dalam waktu dekat,’’ ujar Peritz.
Kematian Foley di tangan ISIS membuat pemerintahan Presiden Barack Obama repot. Sebab, mau tidak mau, Washington harus bertindak. Apalagi, dalam rekaman video terakhir, Foley menyebutkan tuntutan ISIS terhadap AS. Bahkan, si algojo menyebut nama sang presiden dan Menteri Luar Negeri John Kerry. Tampaknya, Gedung Putih harus mempertimbangkan lagi kebijakannya soal teroris.
Selama ini, Washington tidak pernah mau bernegosiasi dengan teroris meski istilah itu hanya digunakan AS. Karena tidak mungkin melanggar aturan yang sudah baku tersebut, Obama lantas berusaha menghancurkan sarang ISIS hingga tuntas. Jumat lalu Washington membahas lagi opsi untuk menggempur Syria yang juga menjadi sarang IS.
Sebagai bentuk penghormatan untuk Foley, Gubernur New Hampshire Maggie Hassan mencanangkan hari berkabung. Rencananya, masyarakat New Hampshire mengibarkan bendera setengah tiang sebagai bentuk penghormatan untuk Foley. Aksi simpatik itu akan mereka lakukan Minggu (24/8 atau Senin WIB). ’’Kami juga akan menyelenggarakan ibadah khusus untuk mengenang Foley,’’ ujarnya.
69 Jurnalis Tewas, 80 Diculik
Jurnalis-jurnalis berkebangsaan Amerika Serikat (AS) di area konflik bisa tewas satu per satu. Mereka tewas bukan karena tertembus peluru di medan perang, melainkan dipenggal militan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Sebab, bukan tidak mungkin ISIS sejatinya telah menculik jurnalis-jurnalis AS, menyembunyikannya, dan menunggu waktu yang tepat untuk menghabisi mereka.
James Wright Foley baru permulaan. Saat ini ISIS sudah memiliki Steven Joel Sotloff sebagai tahanan. Jurnalis yang pernah bekerja di majalah Time itu menghilang sekitar setahun lalu di Syria.
Keluarganya tidak tahu Sotloff berada di mana. Keberadaan Sotloff baru diketahui seusai ISIS memenggal Foley. Saat itu salah seorang anggota ISIS menegaskan, jika AS tidak menarik pasukannya dari Iraq, Sotloff akan bernasib sama dengan Foley.
Selama ini Sotloff telah bekerja sebagai jurnalis freelance di National Interest, Christian Science Monitor, The Daily Caller, Foreign Policy, MediaLine, dan yang paling baru bekerja di World Affair Journal. Sotloff kerap melaporkan berita-berita dari garis depan. Dia telah menulis tentang Libya pasca ditinggalkan Khadafi serta perang sipil di Syria. Padahal, selama ini Syria termasuk negara yang paling tidak aman bagi jurnalis.
Berdasar data Komite Perlindungan Jurnalis, setidaknya ada 69 jurnalis tewas selama perang di Syria. Selain itu, 80 orang telah diculik. Tidak tertutup kemungkinan sebagian besar adalah jurnalis dari AS.
Saat ini orang tua Sotloff menutup diri dari dunia luar. Mereka menolak diwawancara dan meminta privasi mereka dihargai. Orang tua Sotloff tinggal di Florida. Mereka mengetahui kondisi terakhir Sotloff hanya melalui tweet yang dia kirim pada Agustus 2013.
Sebenarnya sebagian besar anggota Kongres Florida Selatan sudah mengetahui penculikan Sotloff tersebut. Mereka berusaha membebaskan Sotloff bersama dengan tahanan AS lain. Namun, sebelum upaya itu berhasil, ISIS mengancam memenggal Sotloff.
’’Kami melakukan apa pun yang kami bisa. Jujur saja, kami memiliki kemampuan yang terbatas. Kami tidak punya jalur diplomatik dengan ISIS. Mereka adalah kelompok teroris yang kejam,’’ ujar anggota kongres dari partai Republik, Debbie Wasserman Schultz.
Teman dan keluarga Sotloff kini menempuh cara lain untuk menyelamatkan orang yang mereka sayangi. Membuat petisi pada Gedung Putih yang mendesak agar pemerintah melakukan apa pun untuk menyelamatkan sang jurnalis.
’’Kami yang bertanda tangan di bawah ini memintamu, Presiden Obama, untuk mengambil tindakan apa pun yang dibutuhkan dan secepatnya menyelamatkan nyawa Steven (Sotloff),’’ demikian sebagian isi petisi tersebut. Petisi itu ditandatangani 7.336 orang.
Pemerintah AS menyatakan telah menyerang markas-markas ISIS di Syria. Namun, hal tersebut tidak cukup. Belum diketahui Obama akan menarik pasukannya dari Iraq atau tidak. Yang jelas, AS berjanji menyelamatkan warganya. (jp)
Tidak ada komentar