TABLOIDLUGAS.COM | Jakarta - Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susensus) 2010 yang telah diolah, akibat merokok, Rumah tangga di Indonesia cenderung lebih mengorbankan kebutuhan non makanan, seperti perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Untuk keluarga miskin, yang pengeluaran bulanan per kapita rumah tangga lebih rendah dari garis kemiskinan di kabupaten atau kotanya, kebutuhan perumahan, barang tahan lama, kesehatan, makanan pokok dan lainnya, dikorbankan karena merokok.
“Rumah tangga miskin cenderung mengorbankan essential good spending-nya, bagaimana kemungkinan ini juga akan diwariskan di generasi berikutnya di keluarga miskin,” ujar Rus’an Nasrudin, salah satu tim peneliti Implikasi Peningkatan Cukai Rokok pada Rumah Tangga Miskin dan Perekonomian Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Selasa(26/2), di Jakarta.
Hasil penelitian yang dilakukan tersebut, relatif rendahnya belanja pendidikan yang relatif rendah pada Rumah Tangga miskin perokok, maka tingkat pendidikan anaknya cenderung rendah. Padahal, kemungkinan merokok pada orang dengan tingkat pendidikan rendah semakin besar.
“Jadi kebiasan merokok tujuh turunan di rumah tangga miskin akibat biaya pendidikan yang rendah, karena uangnya sudah tersedot untuk beli rokok,” kata Abdillah Ahsan, salah satu peneliti.
Dalam penelitian ini pun didapatkan bahwa rata-rata porsi beban cukai rokok terhadap pendapatan masyarakat miskin mencapai 10,63% dibandingkan kelompok kaya yang hanya terbebani 0,42% dari penghasilannya. Walaupun demikian, kenaikan cukai rokok, yang pernah dilakukan sebelumnya, tidak terlalu berpengaruh pada penururnan konsumsi rokok orang miskin.
Para peneliti pun menyarankan pada pemerintah agar meningkatkan cukai rokok secara signifikan agar dapat membuat perokok miskin berhenti mengkonsumsi rokok. Kenaikan cukai ini akan berdampak pada peningkatan penerimaan negara yang positif, sebesar 0,66 – 4,21%. Dampak negatifnya hanya 0,034-0,045%. “Untuk mengurangi dampak negatif terhadap output, pemerintah sebaiknya mengalokasikan peningkatan pengeluarannya melalui faktor infrastruktur,” ujar Djoni Hartono, anggota tim peneliti.
Walau pun demikian, kenaikan cukai rokok ini harus dibarengi dengan kebijakan-kebijakan yang terkait.
“Kebijakan cukai tidak bisa berdiri sendiri, jika tujuannya mengurangi batasan rokok,” ujar Sonny Harr B. Harmadi, Kepala Lembaga Demografi FE UI.
Dari hasil penelitian ini, Djaka Kusmaawarta, Kepala Kebijakan Kepabeanan dan Cukai, mengatakan bahwa hasil penelitian ini menjadi tambahan informasi dalam mempertimbangkan cukai rokok.
“Saat ini, menurut Undang-undang, cukai maksimal yang dibisa ditetapkan hanya 57%,” ujarnya.
Proyeksi penerimaan Negara terhadap cukai rokok pada APBN 2013 ialah 99 trilitun rupiah dari hasil tembakau saja.
“Diharapkan bisa meningkat,” tambah Djaka.
Sebanyak 2% dari cukai ini masuk ke pemerintahan pusat. Rencananya, pada 2014, setiap daerah akan mendapatkan 10% dari pajak rokok. “Pemerintah ingin pemerataan. Biaya cukai dibayar oleh konsumen. Sekarang ini yang mendapat cukai rokok itu kan yang menghasilkan (rokok)saja, sedangkan yang menggunakan (rokok) semua daerah,” katanya. [L]
“Rumah tangga miskin cenderung mengorbankan essential good spending-nya, bagaimana kemungkinan ini juga akan diwariskan di generasi berikutnya di keluarga miskin,” ujar Rus’an Nasrudin, salah satu tim peneliti Implikasi Peningkatan Cukai Rokok pada Rumah Tangga Miskin dan Perekonomian Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Selasa(26/2), di Jakarta.
Hasil penelitian yang dilakukan tersebut, relatif rendahnya belanja pendidikan yang relatif rendah pada Rumah Tangga miskin perokok, maka tingkat pendidikan anaknya cenderung rendah. Padahal, kemungkinan merokok pada orang dengan tingkat pendidikan rendah semakin besar.
“Jadi kebiasan merokok tujuh turunan di rumah tangga miskin akibat biaya pendidikan yang rendah, karena uangnya sudah tersedot untuk beli rokok,” kata Abdillah Ahsan, salah satu peneliti.
Dalam penelitian ini pun didapatkan bahwa rata-rata porsi beban cukai rokok terhadap pendapatan masyarakat miskin mencapai 10,63% dibandingkan kelompok kaya yang hanya terbebani 0,42% dari penghasilannya. Walaupun demikian, kenaikan cukai rokok, yang pernah dilakukan sebelumnya, tidak terlalu berpengaruh pada penururnan konsumsi rokok orang miskin.
Para peneliti pun menyarankan pada pemerintah agar meningkatkan cukai rokok secara signifikan agar dapat membuat perokok miskin berhenti mengkonsumsi rokok. Kenaikan cukai ini akan berdampak pada peningkatan penerimaan negara yang positif, sebesar 0,66 – 4,21%. Dampak negatifnya hanya 0,034-0,045%. “Untuk mengurangi dampak negatif terhadap output, pemerintah sebaiknya mengalokasikan peningkatan pengeluarannya melalui faktor infrastruktur,” ujar Djoni Hartono, anggota tim peneliti.
Walau pun demikian, kenaikan cukai rokok ini harus dibarengi dengan kebijakan-kebijakan yang terkait.
“Kebijakan cukai tidak bisa berdiri sendiri, jika tujuannya mengurangi batasan rokok,” ujar Sonny Harr B. Harmadi, Kepala Lembaga Demografi FE UI.
Dari hasil penelitian ini, Djaka Kusmaawarta, Kepala Kebijakan Kepabeanan dan Cukai, mengatakan bahwa hasil penelitian ini menjadi tambahan informasi dalam mempertimbangkan cukai rokok.
“Saat ini, menurut Undang-undang, cukai maksimal yang dibisa ditetapkan hanya 57%,” ujarnya.
Proyeksi penerimaan Negara terhadap cukai rokok pada APBN 2013 ialah 99 trilitun rupiah dari hasil tembakau saja.
“Diharapkan bisa meningkat,” tambah Djaka.
Sebanyak 2% dari cukai ini masuk ke pemerintahan pusat. Rencananya, pada 2014, setiap daerah akan mendapatkan 10% dari pajak rokok. “Pemerintah ingin pemerataan. Biaya cukai dibayar oleh konsumen. Sekarang ini yang mendapat cukai rokok itu kan yang menghasilkan (rokok)saja, sedangkan yang menggunakan (rokok) semua daerah,” katanya. [L]
Tidak ada komentar