TABLOIDLUGAS.com | Demi melestarikan keturunan mujahid, puluhan sperma tawanan Palestina diselundupkan untuk membuahi para istrinya.
Fakta tersebut dibeberkan seorang dokter spesialis urologi dari Razan Center Salim Abu Khaizaran. Tempat kerjanya yang berpusat di kota Nablus, Tepi Barat memiliki 40 sampel sperma para tawanan perang Palestina.
Sebanyak 22 istri para tawanan tersebut telah bersedia menjalani proses inseminasi.“Para istri tawanan itu dalam kondisi memprihatinkan. Mereka merasa kesepian ditinggal suaminya karena belum dikaruniai keturunan yang bisa membahagiakan kehidupannya kembali,” papar Abu Khaizaran, Rabu (6/2).
Selama menjalani proses sekitar setahun, sebanyak lima istri tawanan itu telah hamil. Bahkan satu di antaranya telah melahirkan tahun 2013 ini. Atas nama solidaritas kemanusiaan, sang dokter membantu para perempuan ini secara cuma-cuma.
Abu Khaizaran mengungkap, kemungkinan keberhasilannya relatif kecil karena terkendala pengiriman sampel sperma agar tetap prima. Dalam kondisi normal saja, proses inseminasi diperkirakan hanya berhasil sekitar 25 persen saja.
"Kesuksesan Ammar Ziben yang mendapatkan anak meski dalam tahananlah yang membuat tahanan lainnya berani menyelundupkan spermanya,” ungkap Abu Khizaran.
Ziben yang harus menjalani hukuman penjara selama 32 tahun menyelundupkan spermanya di akhir tahun 2011. Istrinya berhasil melahirkan bayi lelaki pada Agustus 2012 lalu melalui operasi Caesar.
Ketika ditanya bagaimana sampel sperma itu dikumpulkan dan didistribusikan, mereka menolak menerangkan. Mereka khawatir informasi tersebut justru membuat pemerintah Israel lebih memperketat penjagaan para suami.
Hanya, sebuah petunjuk mengindikasikan bahwa cairan sperma dimasukkan ke botol tetes mata. Meskipun dihantui keraguan tentang bukti kuat terkait upaya pembuahan buatan ini, Abu Khaizaran mengaku telah mendapat persetujuan dari pihak keluarga suami maupun istri. Bantuan seperti ini, jelasnya, bisa mengatasi masalah krisis sosial sebuah keluarga yang dirundung hukuman.
Militansi para suami membuahkan hukuman mati maupun masa penahanan yang panjang. Upaya dokter tadi justru dinilai menumbuhkan semangat hidup para anggota keluarga kembali.
“Sebagai perempuan kita makin beranjak tua dan kesempatan memiliki anak juga kian menipis,” tutur salah satu peserta inseminasi, Rimah Silawi (38 tahun).
Desk: Internasional
[rol]
Fakta tersebut dibeberkan seorang dokter spesialis urologi dari Razan Center Salim Abu Khaizaran. Tempat kerjanya yang berpusat di kota Nablus, Tepi Barat memiliki 40 sampel sperma para tawanan perang Palestina.
Sebanyak 22 istri para tawanan tersebut telah bersedia menjalani proses inseminasi.“Para istri tawanan itu dalam kondisi memprihatinkan. Mereka merasa kesepian ditinggal suaminya karena belum dikaruniai keturunan yang bisa membahagiakan kehidupannya kembali,” papar Abu Khaizaran, Rabu (6/2).
Selama menjalani proses sekitar setahun, sebanyak lima istri tawanan itu telah hamil. Bahkan satu di antaranya telah melahirkan tahun 2013 ini. Atas nama solidaritas kemanusiaan, sang dokter membantu para perempuan ini secara cuma-cuma.
Abu Khaizaran mengungkap, kemungkinan keberhasilannya relatif kecil karena terkendala pengiriman sampel sperma agar tetap prima. Dalam kondisi normal saja, proses inseminasi diperkirakan hanya berhasil sekitar 25 persen saja.
"Kesuksesan Ammar Ziben yang mendapatkan anak meski dalam tahananlah yang membuat tahanan lainnya berani menyelundupkan spermanya,” ungkap Abu Khizaran.
Ziben yang harus menjalani hukuman penjara selama 32 tahun menyelundupkan spermanya di akhir tahun 2011. Istrinya berhasil melahirkan bayi lelaki pada Agustus 2012 lalu melalui operasi Caesar.
Ketika ditanya bagaimana sampel sperma itu dikumpulkan dan didistribusikan, mereka menolak menerangkan. Mereka khawatir informasi tersebut justru membuat pemerintah Israel lebih memperketat penjagaan para suami.
Hanya, sebuah petunjuk mengindikasikan bahwa cairan sperma dimasukkan ke botol tetes mata. Meskipun dihantui keraguan tentang bukti kuat terkait upaya pembuahan buatan ini, Abu Khaizaran mengaku telah mendapat persetujuan dari pihak keluarga suami maupun istri. Bantuan seperti ini, jelasnya, bisa mengatasi masalah krisis sosial sebuah keluarga yang dirundung hukuman.
Militansi para suami membuahkan hukuman mati maupun masa penahanan yang panjang. Upaya dokter tadi justru dinilai menumbuhkan semangat hidup para anggota keluarga kembali.
“Sebagai perempuan kita makin beranjak tua dan kesempatan memiliki anak juga kian menipis,” tutur salah satu peserta inseminasi, Rimah Silawi (38 tahun).
Desk: Internasional
[rol]
Tidak ada komentar