LUGAS | Sejarah - Tujuh "Setan Desa" yang dimaksud dalam propaganda PKI diantaranya adalah Tuan tanah, pengelola tanah absentee hasil privatisasi dari perusahaan belanda / jepang, penerima ijin pengusahaan hutan (HGU), Kyai, pegawai pemeritah. Mereka dianalogikan sebagai setan desa yang harus diganyang, direbut tanahnya dan dibagi-bagi untuk rakyat, dalam hal ini petani anggota Barisan Tani Indonesia (BTI, organisasi sayap PKI).
Sejarahwan Ong Hok Ham mencatat pemberlakuan UU Pokok Agraria (UUPA) pada 1960 telah menguntungkan keberadaan Partai Komunis Indonesia (PKI) saat itu, yang diberlakukan bersamaan dengan Undang-undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH). Kedua UU tersebut merupakan keberhasilan PKI dalam politik nasional. Olle Tornquist dalam ‘Dilemmas of the Third World Communism; The Destruction of the PKI in Indonesia’ menuliskan sebagai kekacauan yang berakibat pada munculnya banyak pertikaian antara tuan tanah dan petani penggarap, khususnya di tempat-tempat yang ketegangannya telah begitu tinggi.
Laman Garda Nasional menulis, PKI melihat pelaksanaan UUPA dan UUPBH itu terlalu lamban. Kemudian secara nasional PKI mereka mendorong pengikutnya untuk melakukan aksi sepihak (aksef) melaksanakan kedua UU tersebut. Di Kediri, PKI mendesak bupati agar menginstruksikan para kepala desa mempercepat pelaksanaan kedua UU itu. Pada saat aksi sepihak itulah kemudian banyak korban berjatuhan.
Dalam mendorong aksi sepihak itu PKI melakukan kampanye dan agitasi. Aidit dan PKI, misalnya, menempatkan para pemilik tanah (tuan tanah) sebagai salah satu dari ‘tujuh setan desa’. Sebagai pemilik tanah, para kiai secara implicit dilukiskan sebagai setan. Ini jelas tantangan langsung terhadap komunitas santri dan petani yang memiliki hubungan langsung atau tak langsung dengan kiai dan pesantrennya.
Dua insiden yang berkaitan dengan analogi ‘tuan tanah jahat’ oleh PKI terjadi di Kediri pada Juni 1962. Didorong kebijaksanaan PKI untuk melakukan aksi sepihak, ratusan anggota PKI mengambil-alih sepetak tanah di Grogol milik Haji Syakur yang tinggal di Kaliboto—karena itu dianggap tuan tanah absentee. Kemudian pengambilalihan tanah milik Haji Syamur di Kentjong. Kedua tuan tanah itu adalah anggota aktif NU dan memiliki hubungan dekat dengan Pesantren Lirboyo, sehingga kedua kasus itu segera mengundang keterlibatan pihak-pihak yang lebih luas. Setelah mengambil-alih tanah, ratusan anggota PKI segera membajak tanah tersebut hingga ratusan anggota NU datang untuk mengambil-alih kembali.
Berita ‘keberanian’ rekan-rekan mereka mengambil-alih tanah itu beredar luas di kalangan PKI. Bagi anggota PKI tak penting apakah mereka berhasil mengambil alih tanah atau tidak. Yang lebih pentng, mereka berhasil membuka peluang untuk mendapatkan tanah secara gratis.
Ada pula peristiwa Pabrik Gula Jengkol, dimana petani yang merupakan anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) menduduki dan menguasai tanah negara yang akan dibangun pabrik gula. Sehingga pada November 1961 pihak perkebunan mengirim traktor ke lahan tersebut, dengan pengawalan tentara meratakan gubuk-gubuk yang dibangun BTI. Mereka pun melawan dan menyerang. Mayor Hambali selaku komandan Kodim memerintahkan anak buahnya bertahan. Karena penyerangan petani BTI itu menggunakan senjata tajam, akhirnya TNI melakukan penembakan dan dalam laporan penelitian Prof Hermawan Sulistyo, ada 10 hingga 15 orang terbunuh. Di pengadilan yang dihadiri ribuan petani, para petani BTI dinyatakan bersalah melakukan kerusuhan. Namun aksef (aksi sefihak) ini menginspirasi petani BTI melakukan aksef serupa di berbagai daerah.
Berbagai aksef ganyang tujuh setan desa dengan merampas tanah dan membagi-bagikan ke petani BTI, itu, mendorong dikeluarkannya Deklarasi Bogor pada 1965, yang diumumkan dalam suatu konferensi sepuluh wakil partai politik di Istana Bogor, guna menegaskan bahwa pertikaian mengenai land reform harus diselesaikan melalui consensus dan bukan konflik.
Sejarahwan Ong Hok Ham mencatat pemberlakuan UU Pokok Agraria (UUPA) pada 1960 telah menguntungkan keberadaan Partai Komunis Indonesia (PKI) saat itu, yang diberlakukan bersamaan dengan Undang-undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH). Kedua UU tersebut merupakan keberhasilan PKI dalam politik nasional. Olle Tornquist dalam ‘Dilemmas of the Third World Communism; The Destruction of the PKI in Indonesia’ menuliskan sebagai kekacauan yang berakibat pada munculnya banyak pertikaian antara tuan tanah dan petani penggarap, khususnya di tempat-tempat yang ketegangannya telah begitu tinggi.
Laman Garda Nasional menulis, PKI melihat pelaksanaan UUPA dan UUPBH itu terlalu lamban. Kemudian secara nasional PKI mereka mendorong pengikutnya untuk melakukan aksi sepihak (aksef) melaksanakan kedua UU tersebut. Di Kediri, PKI mendesak bupati agar menginstruksikan para kepala desa mempercepat pelaksanaan kedua UU itu. Pada saat aksi sepihak itulah kemudian banyak korban berjatuhan.
Dalam mendorong aksi sepihak itu PKI melakukan kampanye dan agitasi. Aidit dan PKI, misalnya, menempatkan para pemilik tanah (tuan tanah) sebagai salah satu dari ‘tujuh setan desa’. Sebagai pemilik tanah, para kiai secara implicit dilukiskan sebagai setan. Ini jelas tantangan langsung terhadap komunitas santri dan petani yang memiliki hubungan langsung atau tak langsung dengan kiai dan pesantrennya.
Dua insiden yang berkaitan dengan analogi ‘tuan tanah jahat’ oleh PKI terjadi di Kediri pada Juni 1962. Didorong kebijaksanaan PKI untuk melakukan aksi sepihak, ratusan anggota PKI mengambil-alih sepetak tanah di Grogol milik Haji Syakur yang tinggal di Kaliboto—karena itu dianggap tuan tanah absentee. Kemudian pengambilalihan tanah milik Haji Syamur di Kentjong. Kedua tuan tanah itu adalah anggota aktif NU dan memiliki hubungan dekat dengan Pesantren Lirboyo, sehingga kedua kasus itu segera mengundang keterlibatan pihak-pihak yang lebih luas. Setelah mengambil-alih tanah, ratusan anggota PKI segera membajak tanah tersebut hingga ratusan anggota NU datang untuk mengambil-alih kembali.
Berita ‘keberanian’ rekan-rekan mereka mengambil-alih tanah itu beredar luas di kalangan PKI. Bagi anggota PKI tak penting apakah mereka berhasil mengambil alih tanah atau tidak. Yang lebih pentng, mereka berhasil membuka peluang untuk mendapatkan tanah secara gratis.
Ada pula peristiwa Pabrik Gula Jengkol, dimana petani yang merupakan anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) menduduki dan menguasai tanah negara yang akan dibangun pabrik gula. Sehingga pada November 1961 pihak perkebunan mengirim traktor ke lahan tersebut, dengan pengawalan tentara meratakan gubuk-gubuk yang dibangun BTI. Mereka pun melawan dan menyerang. Mayor Hambali selaku komandan Kodim memerintahkan anak buahnya bertahan. Karena penyerangan petani BTI itu menggunakan senjata tajam, akhirnya TNI melakukan penembakan dan dalam laporan penelitian Prof Hermawan Sulistyo, ada 10 hingga 15 orang terbunuh. Di pengadilan yang dihadiri ribuan petani, para petani BTI dinyatakan bersalah melakukan kerusuhan. Namun aksef (aksi sefihak) ini menginspirasi petani BTI melakukan aksef serupa di berbagai daerah.
Berbagai aksef ganyang tujuh setan desa dengan merampas tanah dan membagi-bagikan ke petani BTI, itu, mendorong dikeluarkannya Deklarasi Bogor pada 1965, yang diumumkan dalam suatu konferensi sepuluh wakil partai politik di Istana Bogor, guna menegaskan bahwa pertikaian mengenai land reform harus diselesaikan melalui consensus dan bukan konflik.
Mengutip ucapan resmi Presiden Soekarno yang saat itu sebagai Ketua Panitia Land reform Pusat, “Lalu ada polemik tentang pelaksanaan UUPA-UUPBH, terutama tentang aksef (aksi sefihak) kaum tani (BTI/PKI, red). Maka dari itu saya perintahkan kepada sekalian pejabat yang ada hubungannya dengan pelaksanaan UUPA untuk segera mengadakan perundingan-perundingan dengan kaum tani, yang notabene bukan dengan cuma-cuma, tetapi dengan kompensasi yang harus dibayar oleh bapak-bapak dan ibu-ibu tani. Negara kita tidak merampas milik-tanah siapapun! Sejengkalpun tak ada yang dirampas berdasarkan UUPA!” (Soekarno 1964: 210; 212-213).
Setelah Deklarasi Bogor, Rex Mortimer mencatat, PKI kemudian menerapkan cara yang lebih halus.
Aksi rebut tanah dari para penyewa dan pengelola bahkan dari pemilik, pernah dilakukan dalam inisiatif PKI sebagai percepatan program land reform. Tanah-tanah itu kemudian dibagikan kepada para "petani". Akankah sejarah berulang?
[red]
https://t.me/tabloidlugas/1004
Tidak ada komentar